Sejarah Buku: Dari Wicara ke Aksara


Komunikasi adalah nyawa manusia, tanpanya kita hanya serupa benda mati yang tak bisa apa-apa. Dalam komunikasi ada bahasa. Bahasa diantaranya diucapkan dari mulut ke mulut, dari situlah muncul budaya lisan, di mana darinya terlahir para pendongeng handal. Lalu jadilah kebudayaan, kemudian jadilah peradaban. Namun kebudayaan tak akan pernah bisa diwariskan dengan hanya mengandalkan tradisi lisan saja tanpa tradisi tulisan.

Tulisan adalah ekspresi kebahasaan manusia dalam wujud yang lain. Pertanyaannya sejak kapan manusia mengenal tulisan? Lebih spesifik lagi, sejak kapan manusia mengenal aksara? Aksara terkumpul menjadi kata, kata dirangkai menjadi kalimat, sampai akhirnya melahirkan teks-teks suci atau hukum yang darinya manusia menetapkan acuan untuk hidup. Jangan-jangan kita tidak pernah merenungkan kapan manusia mengenal tulisan, karena tertutup gemerlap keinstanan. 

Gemerlap keinstanaan membuat kita terlanjur nyaman; seperti mengakses informasi tanpa jeda, dan menikmati hiburan tanpa alpa. Sedangkan untuk merenungi kapan kita mengenal aksara, kita abstain. Tapi, di ruang sunyi pertanyaan itu diam-diam menyelinap di benak, ia mengendap-ngendap seperti harimau yang sedang memburu mangsa. Ketika hal itu terjadi, seringkali kita lari. Alih-alih mencari jawaban, kita malah lari untuk kembali ke rutinitas, seperti mengakses informasi tanpa jeda dan menikmati hiburan tanpa alpa. “Sejak kapan kita mengenal aksara, tulisan dan akhirnya kita mengenal buku?”, jika pertanyaan ini penting dijawab maka.... 

Background foto: Yuris sedang membaca buku di Perpustakaan ARC.

Mengenal Sejarah Tulisan 

David Finkelstein dan Alistair McCleery dalam An Introduction To Book History (2006), menyebut bahwa di Mesopotamia sekitar 3500-3300 SM sudah mengenal komunikasi dengan menulis. Dalam hal ini Sumeria, Sumeria adalah wilayah di Mesopotamia Selatan. Di tempat ini pertaniannya begitu maju dan kehidupan masyarakatnya sejahtera dan damai. Bangsa Sumeria telah memiliki peradaban yang kokoh, mereka mengeringkan rawa-rawa untuk keperluan bercocok tanam, mengembangkan perdagangan, dan membangun industri, termasuk diantaranya tenunan, kerajinan kulit, besi, pertukangan batu dan kerajinan tembikar. Untuk mengatur itu semua, mereka membuat aturan-aturan tertulis berupa maklumat hukum. Bahkan jauh sebelum kapitalisme hadir, melalui maklumat hukumnya mereka telah mengenal hak kepemilikan properti (property right) . 

Tulisan dalam teks hukum bangsa Sumeria di atas menggunakan huruf Paku. Menurut Hendrik Williem van Loon, Sejarah Umat Manusia: Dari nenek moyang kita yang paling awal sampai era media sosial (2019), para penulis huruf paku Sumeria menggunakan tanah liat sebagai media tulisannya, hal ini berlangsung selama 3000 tahun sebelum masehi. Huruf Paku Sumeria juga digunakan oleh bangsa-bangsa lainnya seperti Bablionia, Asyur, dan Persia.

Masih menurut Finkelstein dan McCleery bahwa tulisan dari Mesopotamia itu mempengaruhi peradaban di tempat lainnya seperti Mesir yang mengembangkan tulisan Hieroglif. Bedanya, Hieroglif Mesir lebih berisi pesan-pesan keillahian sedangkan tulisan Paku Sumeria berisi kondisi sosial dan politik yang terjadi.

Hieroglif Mesir kemudian mempengaruhi tulisan yang lahir di Semenanjung Sinai. Tepatnya muncul di zaman Kana’an sekitar tahun 1850-1500 SM. Tulisan ini juga sering bersebelahan dengan Hieroglif Mesir, membuktikan bahwasannya ada hubungan budaya antara Mesir dan peradaban yang ada di Sinai atau Kana’an.

Persinggungan kebudayaan Mesir dengan Kan’an dimulai pada saat bangsa Ibrani/Yahudi meninggalkan tempat tinggal mereka di Ur menuju Mesir. Kala itu negeri Mesir diserang oleh Hyksos. Sebenarnya kaum Yahudi diuntungkan oleh kedatangan mereka, tetapi kemudian orang Mesir berhasil membalikkan keadaan. Sehingga justru orang-orang Yahudilah yang mengalami ketertindasan oleh bangsa Mesir. Dalam situasi ketertindasan itulah Musa lahir.

Musa menjadi pemimpin kaum Yahudi menuju kebebasan. Musa membawa bangsa Yahudi ke Kana’an. Sejak saat itu terjadilah asimilasi kebudayaan, antara kebudayaan Mesir yang dibawa bangsa Yahudi dengan kebudayaan yang telah mapan di Kan’an/Palestina. Bangsa Yahudi juga kemudian bersentuhan dengan kebudayaan bangsa Fenisia yang hidup di sepanjang laut Mediterania/Lebanon. Bangsa Fenisia hidup makmur, mereka mendirikan kota Trye dan Sidom. Mereka juga membangun kapal-kapal dagang dan perang. Bangsa Fenisia dikenal sebagai pedagang besar, yang berdagang mengarungi lautan, hingga mereka berhasil membangun koloni dagang di seluruh wilayah Mediterania.

Pada mulanya bangsa Fenisia menggunakan sistem penulisan Sumeria (Paku) dan Mesir (Hieroglif) untuk aktifitas perdagangan mereka, seperti mencatat kontrak, kwitansi dan daftar barang. Namun, karena dirasa sistem penulisan Sumeria dan Mesir cukuplah rumit, sedangkan yang mereka butuhkan adalah sistem penulisan yang lebih sederhana dan mudah untuk mendukung perniagaan, akhirnya mereka menciptakan sistem penulisan yang lebih mudah. Baik sistem penulisan Sumeria maupun Mesir sangatlah rumit karena ada ratusan simbol komplek yang digunakan untuk mewakili ide dan suara suku kata. Orang Fenisia menemukan bahwa sebagian besar kata hanya terdiri dari sejumlah kecil bunyi sederhana, dan bisa direpresentasikan hanya dalam 22 simbol.

Kemudian, 22 abjad/simbol ini seiring waktu berjalan melintasi Laut Aegea dan memasuki Yunani serta Romawi. Orang Fenisia menyebarkan alfabet mereka melalui jaringan perdagangan mereka yang luas yang membentang di seluruh wilayah Mediterania. Orang Yunani mengadopsinya dan pada abad ke-8 SM telah menambahkan vokal. Belakangan, orang Romawi juga menggunakan versi alfabet yang sama yang hampir identik dengan yang digunakan saat ini di dunia berbahasa Inggris. Selanjutnya, dengan media apa aksara mereka tuliskan?


Penulis: Muhammad Akmal Firmansyah
Editor  : Yoga Zara

Baca Juga

Post a Comment

0 Comments