![]() |
Dok. Perpusdes Padalarang |
Materi presentasi bedah buku "Kopi dalam Kebudayaan Sunda", oleh Atep Kurnia. Disampaikan pada tanggal 25 Mei 2025, di Perpustakaan Desa Padalarang.
KOPI DALAM KAMUS SUNDA
Kata-kata dan istilah terkait kopi tercermin dalam
kamus bahasa Sunda sejak abad ke-19. Ini menunjukkan transformasi budaya kopi
di masyarakat Sunda, dari sisi budidaya, pengolahan, hingga kebiasaan minum
kopi. Kamus-kamus karya Andries de Wilde, Jonathan Rigg, S Coolsma, R.
Satjadibrata, dan R.R. Hardjadibrata menjadi dokumen budaya yang menangkap
evolusi sosial dan ekonomi kopi di Tatar Sunda: memperlihatkan bahwa budaya
kopi adalah fenomena ekonomi yang kemudian menjadi bagian dari identitas budaya
Sunda yang terus berkembang.
PERKENALAN KOPI KE TATAR SUNDA
Tatar Sunda adalah pintu gerbang kedatangan tanaman
kopi ke Nusantara, terutama kopi Arabika dari Moca dan Malabar. Sejak akhir
abad ke-17, kopi Arabika (dikenal sebagai Java-koffie) menjadi komoditas
unggulan, melalui mekanisme sistem tanam paksa Preangerstelsel (1720-1830).
Namun, serangan penyakit karat daun sejak 1878 mengguncang keberlanjutan
budidaya kopi, khususnya di dataran rendah. Respon terhadap tantangan ini
muncul lewat pengenalan varietas baru seperti Coffea liberica dan robusta.
Tokoh lokal seperti Raden Soeria Nata Legawa menjadi saksi perubahan adaptasi
kopi di Sukabumi, menandai dialog antara budaya lokal dan modernitas pertanian.
BUDIDAYA KOPI DI TATAR SUNDA
Budidaya kopi di Tatar Sunda abad ke-19 direkam
dalam berbagai sumber berbahasa Sunda, baik dari pengamat Eropa maupun penulis
lokal. Melalui karya Andries de Wilde dan serial Mitra noe Tani, dapat
ditelusuri bagaimana masyarakat Sunda mengadopsi dan mempraktikkan teknik budidaya
kopi, mengintegrasikannya dalam kultur agrarisnya. Mereka diajari teknik
bercocok tanam, sehingga kopi menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari dan
bahasa, yang secara langsung menegaskan adanya akulturasi budaya dan
pengetahuan antara penduduk lokal dan pengaruh kolonial.
GUDANG KOPI
Gudang kopi adalah titik krusial dalam sistem
logistik kopi. Sejak awal abad ke-18, gudang-gudang seperti Cikao dan
Karangsambung menjadi pusat pengumpulan dan penyimpanan kopi yang mengikat
petani, pengangkut, kepala pribumi, dan VOC dalam jaringan perdagangan yang
rumit. Gudang kopi yang juga didirikan di tingkat-tingkat pemerintahan
administratif hingga level kecamatan dan kewedanaan seperti Gudang Ciayunan di
Cicalengka ini berfungsi sebagai jantung distribusi kopi yang menghubungkan
produksi di hulu dengan Batavia sebagai pelabuhan ekspor utama.
PEJABAT KOPI
Dalam sistem tanam paksa kopi di Tatar Sunda,
khususnya Sistem Priangan, struktur birokrasi kolonial memegang peranan vital.
Pengawasan dilakukan oleh pejabat Belanda seperti komitir, sersan kopi,
inspektur, dan pakhuismeester, serta elit pribumi seperti bupati dan mantri
gudang yang bertindak sebagai perpanjangan tangan kolonial. Relasi kuasa yang
kompleks ini menciptakan jaringan pengawasan yang ketat, mengatur tenaga kerja
padat karya . Di balik peran administratif, ada dimensi ekonomi berupa hutang
dan komisi, serta politik berupa legitimasi dan pengendalian sosial. Struktur
ini menegaskan bagaimana kekuasaan kolonial dan lokal bersinergi dalam
mengelola produksi kopi sekaligus mempertahankan dominasi.
CACAH/SOMAH
Konsep cacah dan somah menggambarkan satuan
keluarga yang menjadi basis sistem mobilisasi tenaga kerja tanam paksa kopi di
Priangan. Perubahan dari cacah ke somah mencerminkan transformasi sosial, administratif,
dan agraris dalam masyarakat Sunda. Sistem ini mengorganisasi kerja paksa dan
memengaruhi pola pemukiman dan bentuk rumah, sekaligus memperlihatkan pengaruh
pengawasan kolonial yang kian menguat. Dengan mempelajari konsep ini, kita
memahami bagaimana produksi kopi membentuk ulang struktur sosial dan politik
Jawa Barat pada abad ke-19.
HUKUMAN
Sistem kekuasaan lokal di Priangan selama tanam
paksa kopi dikenal dengan praktik hukuman sebagai alat kontrol sosial yang
represif. Para bupati, sebagai perpanjangan tangan pemerintah kolonial, diberi
otonomi luas untuk mendisiplinkan petani kopi. Setelah reorganisasi Priangan
tahun 1871, kekuasaan ini kian terstruktur untuk memastikan ketaatan melalui
tekanan dan sanksi keras. Di sini yang disoroti adalah penderitaan struktural
masyarakat di bawah sistem tersebut, dan menunjukkan bahwa hukuman itu
sesungguhnya. instrumen kekuasaan yang menegaskan subordinasi rakyat dalam
produksi kopi.
KEKES
Mengajak untuk merevisi wacana populer tentang
“kopi luwak” dengan istilah yang lebih akurat dan kontekstual, seperti kopi
kekes, kopi leles, atau kopi careuh. Istilah-istilah tersebut lahir dari
tradisi dan sejarah lokal Sunda sejak abad ke-19, yang didukung oleh bukti
linguistik dan budaya dalam kamus-kamus dan buku-buku Sunda.
NGOPI
Penelusuran istilah “ngopi” dan “kopieun” dalam
pustaka Sunda dan Belanda menggambarkan praktik tradisional minum kopi di
kalangan orang Sunda yang kaya makna. Dari catatan Wilde tahun 1830 hingga
perkembangan ekspresi terkait kopi, ngopi menjadi simbol interaksi sosial,
pengikat hubungan keluarga dan komunitas, serta bagian dari pola makan dan
kebiasaan lokal. Ini menunjukkan kopi sebagai paradoks yang hidup dan terus
berkembang di kalangan orang Sunda. Kenangan pahit tanam paksa kopi yang terus
dilestarikan dalam bentuk ngopi dan kopieun atau opieun.
KECANDUAN
Budaya Sunda mengartikulasikan kecanduan kopi
melalui ungkapan seperti weureu kopi (mabuk kopi), nyandu kana kopi (ketagihan
kopi), dan geus nahi kana kopi (kecanduan yang sulit dihilangkan).
Ungkapan-ungkapan tersebut muncul sebagai refleksi pengalaman sosial dan
historis, di mana kecanduan kopi dianalogikan dengan kecanduan candu (opium),
yang meski dilarang, masih eksis dalam masyarakat kolonial. Kopi bagi orang
Sunda bisa jadi menjadi bagian dari kebutuhan sosial dan ekonomi di era tanam
paksa, di mana kopi membantu menjaga kesadaran kerja keras petani. Meskipun
sebenarnya terlarang bagi rakyat kebanyakan yang menanam dan merawat kopi untuk
mengonsumsi kopi. Keterkaitan ini menunjukkan betapa kopi telah menyatu dalam
kesadaran budaya Sunda.
WARUNG KOPI
Warung kopi adalah tempat minum kopi, sekaligus
ruang sosial dan budaya yang menjadi pusat interaksi masyarakat Sunda.
Dikisahkan melalui novel Kembang Rumahtangga karya Tjaraka, warung kopi menjadi
tempat berkumpulnya masyarakat kelas bawah dengan suasana tradisional, seperti
penyajian kopi dalam ceret tanah liat. Sejarah warung kopi di Jakarta bahkan
telah ada sejak abad ke-19, dengan pengaruh pengusaha Tionghoa yang mendominasi
pengolahan dan pemasaran kopi. Dengan demikian, warung kopi menjadi simbol modernisasi
sekaligus pelestarian tradisi, tempat berlangsungnya berbagai aktivitas sosial
yang memperkuat jaringan budaya kopi.
BAJIGUR
Bajigur, yang semula terbuat dari kopi, gula aren,
dan santan, mengalami perubahan seiring waktu. Sekarang unsur kopi jarang
disebut-sebut sebagai bagian dari bajigur. Dalam catatan pustaka Sunda, unsur
kopi sudah terekam ada di dalam bajigur sejak abad ke-19. Transformasi bajigur
dari minuman yang mengandung kopi menjadi tidak mengandung kopi memperlihatkan
bagaimana kopi sebagai unsur penghalang yang harus dihilangkan, bisa jadi
karena rasa pahitnya di lidah, atau bisa juga karena alasan ekonomis adanya
tambahan bahan yang harus diadakan.
WARNA KOPI
Istilah warna kopi dalam budaya Sunda mengandung
makna estetis dan mencerminkan hubungan antara tumbuhan kopi dengan
perkembangan budaya manusia. Variasi warna seperti wungu kopi (ungu matang),
kopi (coklat sangrai), kopi susu (coklat muda bercampur susu), dan kopi tutung
(coklat tua biji gosong) menunjukkan pergeseran budaya dan ekonomi. Warna kopi
menjadi simbol dialektika antara alam dan budaya yang terus berkembang di
masyarakat Sunda.
TOPONIMI
Toponimi yang berkaitan dengan kopi tersebar luas
di Tatar Sunda, dari Banten hingga Jawa Barat, menjadi bukti interaksi masyarakat
Sunda dengan tanaman kopi. Nama-nama seperti Kampung Kebon Kopi, Selakopi,
Bojong Kopi, dan Gunung Kopi merefleksikan transformasi sosial-ekonomi dan pola
pemukiman yang terkait dengan budidaya kopi sejak abad ke-17 hingga berakhirnya
masa kopi sebagai tanaman wajib setor pada 1915. Toponimi kopi ini sebagai
identitas geografis, media komunikasi dan penyimpan sejarah budaya Sunda.
MOTIF BATIK
Ada hubungan erat antara budidaya kopi di Priangan
dengan munculnya motif-motif batik yang mengangkat simbol kopi, seperti motif
kopi pecah, kawung kopi, dan kembang kopi. Berdasarkan literatur lama, motif
kopi pecah sudah dikenal sejak awal abad ke-20 di Priangan dan tersebar luas
hingga ke Jawa Tengah dan Jawa Timur, menunjukkan penyebaran budaya dan simbol
kopi dalam batik Jawa. Dengan demikian, motif batik kopi menjadi simbol
kultural yang menghubungkan seni, alam, dan kehidupan ekonomi masyarakat Sunda.
SAJEN
Dalam tradisi Sunda, praktik sasajen dan nyuguh
adalah wujud penghormatan kepada leluhur dan kekuatan alam, terutama padi
sebagai lambang kesuburan. Kopi dalam konteks ini bukan hanya sebagai minuman
sehari-hari, tetapi juga simbol spiritual yang sering dipersembahkan dalam
sajen, menandakan penghormatan dan komunikasi dengan dunia gaib. Ritual ini merefleksikan
pengakuan hubungan harmonis antara manusia, alam, dan
spiritualitas—menggambarkan bahwa kopi lebih dari sekadar komoditas, melainkan
jembatan kultural dan spiritual yang melekat dalam kebudayaan Sunda.
SISINDIRAN
Sisindiran, yang telah ada sejak abad ke-16, menyerap pengaruh kopi sebagai bagian dari kehidupan sosial dan budaya masyarakat Sunda. Dalam berbagai karya sisindiran lama hingga modern, kopi muncul sebagai simbol dalam konteks agrikultur, pascapanen, bahkan dalam ungkapan humor dan percintaan. Hal ini menegaskan betapa kopi telah melekat dalam bahasa lisan, folklore, dan musik rakyat Sunda, betapa kuatnya kopi sebagai bagian dari identitas budaya yang hidup dan terus berkembang. Sisindiran kopi mencerminkan kearifan lokal dalam menggunakan simbol alam sebagai media ekspresi dan pengikat sosial.
MUSIK
Memaparkan sejarah dan perkembangan musik Sunda,
khususnya yang terkait tema kopi sebagai unsur budaya yang hidup dalam
lagu-lagu tradisional dan modern. Musik Sunda yang direkam sejak era fonograf
(akhir abad ke-19) dan disebarkan melalui radio memperlihatkan bagaimana kopi
menjadi motif yang melekat dalam lirik dan melodi dan, mengekspresikan hubungan
sosial, romantisme, dan kebiasaan konsumsi kopi. Lagu-lagu seperti “Ijskopi”
dan “Tjai Kopi” merayakan minuman kopi, sekaligus sebagai simbol interaksi
dalam warung kopi, kehangatan pertemanan, dan identitas lokal.
0 Comments