Mempertimbangkan Teologi Pembebasan sebagai Jalan Keluar dari Indoktrinasi Elit Agama

Rocky Gerung dalam sebuah diskusi yang dihelat oleh TVOne dalam program yang bernama ILC dengan tema "Teror ke Pemuka Agama; Adakah Dalangnya?", mengungkapkan kekesalannya terhadap penguasa karena penguasa selalu memposisikan persoalan teologis sebagai akar masalah yang melandasi persoalan sosial yang hadir di tengah tengah warga negara. Menurutnya, setiap persoalan sosial yang mengemuka berakar dari ketimpangan ekonomi dan ketiadaan demokrasi, bukan berakar dari persoalan teologis. 

Dengan demikian, harusnya negara mampu menyejahterakan warganya dan menjamin terlaksananya demokrasi sepenuh-penuhnya, bukan malah sebaliknya. Karena, tidak terpenuhinya hak ekonomi dan hak politik warga negara adalah salah satu penyebab munculnya persoalan-persoalan sosial kemasyarakatan.

Apakah benar teologi bukan salah satu akar persoalan sosial kemasyarakatan? Dari pernyataan Rocky, jelas terlihat bahwasannya ia skeptis bahkan alergi terhadap setiap perdebatan yang mau memposisikan teologi sebagai salah satu akar yang menyebabkan setiap persoalan sosial yang mengemuka, karena jika pemahaman itu dipertahankan mengakibatkan hilangnya keakraban warga negara. Maka yang muncul adalah kecemasan, kesalingcurigaan dan ketakutan warga negara. Dengan begitu, situasi sosial malah makin buruk jauh dari rasa aman dan nyaman, sehingga situasi itu rentan/mudah dimanfaatkan oleh sekelompok elit yang mempunyai kepentingan ekonomi-politik tertentu/ “dalang”.


Begitu pun dengan Asghar Ali, di dalam bukunya yang berjudul "Islam dan Teologi Pembebasan Islam", mula mula ia meragukan teologi. Ia berkata, "adakah teologi yang membebaskan? Bukankah teologi itu tidak membebaskan?". Namun walaupun di awal ia meragukan, akhirnya ia menawarkan satu rumusan teologi yang bisa dikatakan membebaskan, yaitu yang punya ciri berpihak pada golongan masyarakat yang tertindas, yang termarginalkan. Bagaimanakah teologi yang Asghar tawarkan?

Tunggu dulu, bukan tanpa sebab Asghar mula-mula memaparkan keragu-raguannya terhadap teologi, karena ia melihat teologi/agama selalu digunakan oleh penguasa sebagai alat untuk meredam serta menggiring opini agar warga negara tidak lagi peduli pada hak-hak ekonomi-politiknya yang senyatanya telah dikorupsi oleh penguasa. Menurutnya hal ini terjadi tidak terlepas dari arah transformasi sosial yang hanya menguntungkan elite-elite ekonomi-politik saja, tapi tidak menguntungkan bagi masyarakat kebanyakan. 

Hadirnya penggusuran di kota-kota besar Indonesia, dan alih fungsi lahan di desa-desa serta hutan Indonesia membuktikan bahwasannya apa yang diutarakan Asghar relevan dengan konteks Indonesia. Transformasi sosial Indonesia hanya menguntungkan elit-elit penguasa ekonomi dan politik, tapi merugikan bagi rakyat banyak. Ada yang disingkirkan dari kehidupan layaknya, ada yang dimiskinkan, ada yang dipaksa beralih profesi dengan upah yang sangat murah, ada kerusakan alam; adalah sejumlah fenomena yang mencirikan transformasi sosial yang berlandaskan pada konsentrasi pemilikan modal di segelintir orang saja.

Kenyataan pembangunan yang tidak menguntungkan rakyat banyak, dalam landskap transformasi sosial seperti di Indonesia, bagi Asghar hanya akan berakibat pada, pertama, menguatnya konservatisme dan fundamentalisme dalam beragama. Untuk menjelaskan hal tersebut,  ia mengambil Iran di era Syah (sampai revolusi yang dipimpin Khomeini), sebagai contoh. Bagi Asghar, kenyataan pembangunan yang menihilkan rakyat banyak dan hanya menguntungkan segelintir orang berakibat pada berkembangnya kecenderungan konservatisme dan fundamentalisme agama yang mengeksploitasi masyarakat demi kepentingan politik kaum konservatif macam Khomeini yang bahkan menggunakan retorika agama yang radikal untuk menarik simpati rakyat banyak. 

Lalu Asghar menambahkan, “Oleh karena itu, pembangunan seharusnya dirancang sedemikian rupa sehingga tidak dipahami sebagai perusak oleh masyarakat yang masih konvensional, namun sebaliknya dapat membangkitkan semangat dan menciptakan antusiasme  masyarakat untuk terlibat di dalamnya. Kemarahan masyarakat akan semakin meningkat jika pembangunan justru menciptakan budaya korupsi dan betul-betul mengesampingkan mereka. Inilah yang sekarang terjadi di sebagian besar Negara-negara Asia dan Afrika. Dan inilah penyebab mengapa fundamentalisme mengakar semakin kuat di semua Negara ini, dan yang mengagetkan kita adalah laju pertumbuhan ekonomi yang sangat tinggi dan meluasnya pendidikan modern justru memperkuat, bukannya melemahkan, konservatisme agama. Pembangunan pendidikan dan ekonomi selanjutnya, betapa pun muatannya sangat rasional dan ilmiah, tidak melahirkan cara pandang yang rasional dan ilmiah, karena pembangunan itu tetap berorientasi pada sekelompok elit….”. 

Situasi sosial macam inilah yang dimaksud oleh Rocky sebagai rentan dimanfaatkan oleh “dalang”. Dalam hal ini, diindikasikan dengan menguatnya narasi kebangkitan PKI di kalangan akar rumput -- yaitu di kalangan masyarakat kelas bawah yang masih konvensional dan tradisional dalam beragama. Bagi Rocky, narasi kebangkitan PKI akan selalu hadir dan memiliki tempat di kalangan masyarakat bawah sejauh problem-problem pokok yang berkaitan dengan kesejahteraan ekonomi dan hak-hak warga negara tidak dipenuhi oleh negara. Di titik ini, sejatinya negara tidak hadir bagi warganya. Sehingga, situasi ini jadi lahan subur bagi tumbuh dan berkembangnya pemahaman agama yang konservatif. Di mana agama fungsinya hanya melanggengkan situasi ketertindasan pemeluknya, akibat dari transformasi sosial yang mengarah pada makin terkonsentrasi modal di beberapa gelintir orang. Tak heran bila isian keberagamaan hari-hari ini selalu berada diseputar kebangkitan, kebengisan dan ke-ateisan PKI yang berbahaya. 

Kedua, bersamaan dengan menguatnya konservatisme agama, menguat pula struktur sosial yang otoriter. Pembangunan yang berorientasi pada kelompok elit hanya bisa bertahan jika protes kalangan bawah bisa dibungkam, dan hanya sebuah rezim yang otoriter dengan klaim demokratis, yang dapat meredam protes tersebut. 

Senada dengan apa yang diungkapkan oleh Asghar, Rocky Gerung melihat hal serupa. Rocky prihatin melihat gerak penguasa yang mau mengarahkan tata kelola negara ke arah otoritarianisme, meski tidak dikatakan secara eksplisit olehnya. Indikasi ke arah otoritarianisme Negara ia ungkapkan lewat sejumlah regulasi yang dibuat pemerintah, diantaranya: sedang dipertimbangkannya peraturan mentri dalam negeri yang isinya adalah bahwa setiap riset yang dilakukan oleh akademisi harus mendapat izin dari kementrian dalam negeri dan hasilnya diserahkan kepada kementrian dalam negeri. Menurutnya, tidak bisa karya ilmiah diuji oleh lembaga yang tidak punya otoritas di bidang ilmiah, karena itu artinya pengendalian pikiran atau birokratisasi pikiran yang merugikan bagi demokrasi, menyalahi prinsif kebebasan berpikir. Selanjutnya, regulasi  tentang penghinaan terhadap kepala negara akan dimasukkan ke dalam delik umum, sehingga siapa pun yang dianggap menghina kepala Negara oleh pemerintah bisa langsung ditangkap tanpa mensyaratkan adanya pengaduan. 

Tendensi otoritarianisme juga hadir lewat ditandatanganinya nota kesepahaman antara Polri dengan TNI baru-baru ini yang isinya, Polri dapat meminta bantuan TNI untuk mengamankan unjuk rasa dan mogok kerja. Lewat tulisan berjudul Nota Kesepahaman TNI-POLRI, Alat Gebuk Pemogokan Buruh yang dimuat di laman tirto.id, Sherr Rinn berpendapat bahwasannya, nota kesepahaman ini cacat hukum karena bertentangan dengan aturan di atasnya (UU No. 34/2004 tentang TNI). Ia menambahkan, “Penandatangangan nota kesepahaman TNI-Polri hanya akan memperkuat tendensi militeristik yang sudah mengakar dalam tubuh aparatur negara. Belum lagi ketergantungan elite-elite politik pada tentara. Maka bukan hal yang ganjil apabila sewaktu-waktu serdadu akan kembali ke ranah sipil”.   

Dengan kata lain, otoritarianisme selalu hadir beriringan dengan laju pertumbuhan ekonomi yang hanya menguntungkan segelintir orang saja. Sedangkan teologi yang ada disinyalir absen mengisi kesadaran kritis bagi umat beragama. Untuk itulah Asghar menawarkan seperangkat pemahaman agama yang kritis, oleh karenanya emansipatif serta diklaim berorientasi pada transformasi sosial masyarakat yang adil dan setara. 

***

Berangkat dari asmusi kerevolusioneran ajaran agama Islam, Asghar memulai proyek penelitian teologi pembebasan Islamnya. Namun bagi Asghar, asumsi kerevolusioneran ajaran agama Islam hanya mungkin dilihat lewat kacamata materialism (dialektika) historis, tidak yang lainnya. Tanpa kacamata ini pemahaman teologi hanya akan terjatuh pada dua jenis teologi yang ia sebut dengan teologi tradisional dan teologi spekulatif (rasional; diwakili Mu’tazilah). Dua jenis teologi ini disinyalir tidak akomodatif terhadap perjuangan kelas. Teologi tradisional berwatak dogmatis dan kaku, sedangkan teologi rasional berwatak elitis.

Dalam sejarahnya, teologi tradisional yang dicirikan dengan menguatnya pemahaman predeterminasi/Jabariyyah -- yang pada perkembangan sejarah selanjutnya diakomodasi sepenuhnya oleh aliran Teologi Asy’ariyah—telah berkontribusi pada peralihan tata kuasa yang semula berdasarkan musyawarah (demokrasi terbatas) menjadi berdasarkan garis keturunan (kedinastian/kerajaan), ditandai dengan berdirinya Dinasti Umayyah. Dinasti Umayyah adalah kekuasaan pertama pasca Khulafaurasydin yang mengafirmasi faham teologi Jabariyyah. Faham Jabariyyah karena sangat akomodatif terhadap Monarki Umayyah yang kaku, konservatif dan otoriter, kerap digunakan sebagai dalih menghantam sekte-sekte Syiah penganut Teologi Mu’tazilah dan kelompok Arab Badui penganut Teologi Khawarij. Dua aliran teologi yang disebut terakhir ini berfaham Qodariyyah (faham kebebasan berkehendak bagi manusia). Sedangkan Jabariyyah sendiri berarti faham yang menyatakan bahwasannya manusia tidak memiliki kehendak bebas, satu-satunya kehendak adalah kehendak Alloh. Konsekuensinya, faham Jabariyyah melegitimasi keadaan betapa pun korupnya keadaan itu, karena setiap keadaan diasumsikan terjadi atas kehendak-Nya, manusia mesti pasrah dan berserah menerima keadaan.

Maka model teologi ini bisa kita simpulkan sebagai model teologi yang akomodatif terhadap system politik yang otoriter. Adapun teologi spekulatif yang oleh Asghar dianggap diwakili oleh Mu’tazilah hanya menyasar kalangan cerdik pandai— kalangan tertentu saja yang punya akses ekonomi dan politik di kala itu. Meskipun teologi ini dipandang progresif oleh Asghar—karena diantaranya mendorong pada kebebasan berpikir. Namun teologi ini tidak punya keberpihakan terhadap orang-orang tertindas di kala itu: petani penggarap, para budak kulit hitam dan pengrajin. Bahkan Teologi Mu’tazilah jadi teologi resmi Kerajaan Abasiyyah yang tak kalah menindasnya dengan kerajaan sebelumnya (Dinasti Umayyah). Di masa Abasiyyah setiap pemberontakan yang dimotori oleh kelas pekerja menuntut kesejahteraan dan kesetaraan disikat habis dengan kejam dan bengisnya.

Teologi spekulatif macam ini di era modern diidentikan dengan pemikiran Muhammad Abduh, Al Afghani, Ahmad Khan, Thaha Husein dan yang lainnya. Teologi ini melihat akar kemunduraan ummat Islam di segala bidang semata-mata dari cara berpikir yang tidak rasional-modern, bukan dari ketertindasan ekonomi-politiknya. Secara tidak langsung model teologi macam ini menyediakan landasan pemahaman keagamaan yang berorientasi pada pembangunan model barat yang tidak berakar pada kondisi sosio-kultural ummat Islam itu sendiri, yang pada akhirnya mengafirmasi teta ekonomi yang bertopang pada akumulasi keuntungan semata – yang sering kita sebut dengan kapitalisme. 

Sehingga baik teologi tradisional maupun teologi spekulatif pada akhirnya dianggap pro status quo,  oleh Asghar. Ada pun teologi yang tidak pro status quo atau dengan kata lain berwatak revolusioner diwakili oleh aliran teologi yang dianut oleh gerakan Qaramitah dan golongan Khawarij. Mengenai gerakan Qaramitah, Asghar menulis:

“Qaramitah bergerak menuju titik ekstrem yang lain dalam mengembangkan teologi revolusionernya. Mereka melawan semua bentuk ritual, dan bahkan melepaskan batu suvi Hajar Aswad dari tempatnya di Mekah, dan baru mengembalikannya setelah lebih kurang enam bulan ditekan keras oleh kalangan muslim ortodoks. Qaramitah menentang institusi kepemilikan pribadi dan mereka memilih tingal di dalam komune-komune. Pendiri sekte ini adalah Hamdan Qarmat. Ia berasal dari dataran rendah Mesopotamia yang subur tetapi bukan termasuk daerah yang sangat sehat. Sebagian pekerja-pekerja perkebunan yang tidak menetap tertarik untuk mencari pekerjaan di daerah ini. Hamdan Qarmat mendapat sambutan dari penduduk desa yang tertekan dari berbagai distrik ini. Ia kemudian mengorganisir suatu masyarakat yang komunistik dan memperoleh dukungan dari para pekerja rendahan ini.”

Tidak jauh berbeda dengan Qaramitah, golongan Khawarij pun mengembangkan relasi sosial yang sosialistik diantaranya: menolak kepemilikan pribadi, mengadopsi tata politik yang demokratis, dan memerangi penguasa dzalim (Dinasti Umayyah dan Abasiyyah). Yang membedakan Qaramitah dengan Khawarij adalah basis massa pendukungnya. Qaramitah dihuni oleh kelas pekerja perkotaan (masyarakat yang sudah menetap), diantaranya: para budak, petani penggarap, pekerja upahan dan pengrajin. Sedangkan Khawarij dihuni oleh masyarakat nomad/Suku-suku Badui yang cara berproduksinya masih berburu. Dari dua teologi yang tersebut terakhir inilah Asghar mengambil inspirasinya. Sekaligus hal itu membuktikan bahwasannya ajaran Islam menyediakan landasan bagi suatu tafsir agama yang menekankan pada aspek pembebasan manusia dari situasi ketertindasanya—yang konkrit dan materil. 

Meskipun, baik mereka penganut teologi pro status quo maupun yang tidak, telah mengambil titik tolak empirisnya dari sumber agama yaitu kitab suci (al-Quran), hal itu tidaklah menjamin keberpihakannya pada golongan masyarakat tertindas, padahal menurut Asghar, kehadiran Islam tak bisa dilepaskan dari spirit pembebasannya. Sampai-sampai bahkan ketika Muhammad sebelum diangkat menjadi nabi pun, ia sudah terlibat dalam sebuah organisasi yang punya focus mengadvokasi orang-orang lemah di Kota Mekah bernama Hilf al Fudl (Persekutuan Orang-orang Tulus). Oleh karenanya, ajaran Islam sudah revolusioner sedari awal, 

Adapun aspek liberatif dalam ajaran Islam berkisar di seputar penekanannya pada, pertama, pentingnya penggunaan akal. Al-Quran berulang kali menyeru manusia untuk berpikir dan menyebut mereka yang menggunakan akalnya secara maksimal dengan sebutan Ulil Albab, “Apakah sama antara yang buta dan yang melihat? Apakah kamu menggunakan akalmu?” (6: 50). Kedua, tentang pentingnya keadilan ekonomi/ keadilan distributif. Al-Quran menghujat orang-orang yang suka menumpuk-numpuk harta (Al-Humazah), melarang riba (Surat 2: 275-278 dan 30:39), al-Qur’an juga tidak menginginkan harta kekayaan itu hanya berputar di antara orang-orang kaya saja. Ketiga, tentang kesetaraan gender (al-Baqarah, 2: 228). Keempat, al-Quran juga menyerukan perang terhadap penindasan, “Mengapa kamu tidak berperang di jalan Alloh dan membela orang-orang tertindas, laki-laki, perempuan, dan anak anak yang berkata ‘Tuhan kami! Keluarkanlah kami dari kota ini yang penduduknya berbuat zalim. Berilah kami perlindungan dan pertolongan dari-Mu!’” (4:75). Kelima, tentang tolereansi terhadap penganut agama lain (al-Kafirun). Setelah meninjau ajaran-ajaran Islam yang dianggap liberatif, Asghar menyimpulkan bahwasannya tujuan Teologi Pembebasan Islam adalah terbentuknya persaudaraan yang universal, kesetaraan, dan keadilan sosial. 


  • Tulisan ini pernah disampaikan dalam sebuah diskusi reguler di Tamansari Bandung "Kajian Ruang Kota, Tamansari", pada tanggal 19 Februari 2018.
  • Tulisan ini belum selesai. Adapun buku-buku yang menjadi rujukan tulisan ini diantaranya: Islam dan Teologi Pembebasan  (Asghar Ali Engineer), Islam dan Pembebasan (Asgahar Ali Engineer), Teologi Islam: Aliran-aliran, Sejarah Analisa Perbandingan (Harun Nasution), Liberalisasi Teologi Islam; Membangun Teologi Damai dalam Islam (Asghar Ali Engineer), Asal Usul dan Perkembangan Islam (Asghar Ali Engineer), Teologi Pembebasan Asia (Michael Amalados), Kekerasan Budaya Pasca 65 (Wijaya Herlambang.



Penulis: Yoga Zara

Baca Juga

Post a Comment

0 Comments