Belajar dari Sejarah; Studi Kasus Pandemi Influenza 1918-1920

Pada tahun 2020 telah terjadi pandemi hampir di seluruh dunia, yang berasal dari virus Sars-CoV-2. Virus ini sering disebut juga Corona Virus Disease 2019 / Covid-19.

Pandemi yang melanda sebagian besar dunia ini menyebakan kepanikan yang massif dikarenakan penyebarannya yang begitu cepat. Selain menyebar dengan cepat, gejala-gejala yang ditunjukan cukup berat, dengan tingkat kematian tinggi untuk para lansia dan pasien yang memiliki komorbid. Sehingga disimpulkanlah bahwa virus ini sangat berbahaya.

Namun, sayangnya negara Indonesia gagal memahami hal tersebut. Ketika negara lain melakukan langkah pencegahan, pemerintah Indonesia malah terkesan mengundang virus tersebut dengan kebijaknnya yang curaling.

Saat negara lain menutup perbatasan mereka, pemerintah Indonesia malah membuka negaranya untuk menerima turis asing. Di sini, pemerintah Indonesia mengambil keuntungan dari ditutupnya negara lain, berharap dengan cara demikian pemerintah Indonesia bisa meraup keuntungan finansial dari sektor pariwisata. Untuk hal itu, pemerintah Indonesia bahkan menyewa Influencer untuk mempromosikan Indonesia, agar turis asing mau datang ke Indonesia.

Pemerintah Indonesia juga diindikasikan mengontrol media untuk menenangkan keadaan dengan berkata bahwa virus ini tidak berbahaya dan parahnya melalui siaran pers pejabat mengolok-olok virus tersebut dengan mengabaikan himbauan-himbaun dari para ahli, baik di dalam maupun luar negeri.

Pada  awal tahun 2020 virus ini pertama kali ditemukan Depok. Setelah itu, dalam rentang beberapa bulan saja ratusan ribu orang telah menjadi korban keganasan Covid-19. Sebagian kalangan menganggap jumlah korban lebih dari itu. Jumlah korban yang fantastis dalam rentang beberapa bulan saja ini, mengindikasikan bahwa pemerintah tidak siap menghadapi pandemic Covid-19. Hal ini terjadi akibat dari kegagalan pemerintah Indonesia   memahami bahaya Covid-19 sedari awal.

Foto : Penjual jamu keliling, yang beraktivitas di pusat-pusat perekonomian tradisional Jawa pada tahun 1920-an. Ketika terjadi wabah influenza pada tahun 1919 di Jawa, sebagian besar masyarakat Jawa berpaling pada pengobatan dengan jamu. Setidaknya dua faktor menjadi dasarnya: yang pertama pengobatan medis Barat belum banyak dikenal oleh masyarakat, dan yang kedua jamu dipercaya mampu menyembuhkan penyakitnya serta terjangkau oleh masyarakat. (Lampiran Buku “Yang Terlupakan Sejarah Pandemi Influenza 1918 di Hindia Belanda”)

Sebagai mahasiswa sejarah, penulis merasa tertarik untuk melihat kembali bagaimana orang-orang dulu menyikapi wabah penyakit terkhusus di Indonesia. Apakah dulu pemerintah kita lebih baik dalam menangani sebuah pandemi atau malah lebih buruk atau sama saja.

Dalam kasus ini penulis akan mengambil pandemi influenza 1918-1920 atau sering disebut juga Flu Spanyol sebagai studi kasus. Selain karena gejalanya hampir sama, pandemi ini juga berdampak secara global. Untuk lebih lengkapnya mari kita simak penjelasan di bawah.

Dalam salah satu artikel terbitan Historia, Pemerintah Hindia Belanda mencatat, virus ini pertama kali dibawa oleh penumpang kapal dari Malaysia dan Singapura dan menyebar lewat Sumatera Utara pada tahun 1918.

Investigasi polisi laut terhadap kapal penumpang Maetsuycker, Singkarah, dan Van Imhoff mendapati beberapa penumpang positif terjangkit virus tersebut. Virus bahkan menjangkiti seluruh penumpang dan awak kapal Toyen Maru yang baru tiba di Makassar dari Probolinggo.

Masih dalam artikel terbitan historia.id, penulisnya memaparkan bahwa dalam koran terbitan Aneta dengan Asosiasi Dokter Batavia, mereka menyimpulkan bahwa Flu Spanyol tidaklah berbahaya. Sementara koran Sin Po mayatakan bahwa penyakit ini sedang mengamuk di seluruh negeri, meskipun tidak begitu berbahaya seperti kolera atau pes. Pemberitaan positif macam itu, terutama oleh koran pemerintah (Aneta) tampaknya dilakukan agar tidak menimbulkan kepanikan di masyarakat.

Namun pada kenyataannya, kondisinya malah semakin parah. Para pimpinan daerah melaporkan kasus influenza terus meningkat dari waktu ke waktu. Kepala daerah Banjarmasin dalam telegram daruratnya menyebutkana bahwa di daerahnya, Borneo Timur dan Selatan,  ada  1424 pasien yang mengidap penyakit influenza. Lalu, asisten Residen Buleleng dan Asisten Residen Banyuwangi juga melaporkan hal yang sama di waktu yang tidak berjauhan. (Priyanto Wibowo,dkk, 2009, hlm. 96-98).
 
Dalam waktu singkat, yaitu sekitar satu minggu, penyakit ini mulai menyebar ke Jawa Timur. Diantaranya Surabaya, Surabaya sebagai kota pelabuhan utama, juga diserang wabah influenza sekaligus menjadi pintu penyebaran masuk hingga ke daerah sekitarnya. Selanjutnya, pada akhir November 1918, Pemerintah Hindia Belanda telah menerima laporan bahwa penyakit itu telah melanda Jawa Tengah dan memasuki wilayah Jawa Barat. (Priyanto Wibowo,dkk, 2009, hlm. 99).
 
Burgerlijken Geneeskundigen Dienst (BGD/Dinas Kesehatan Sipil) Hindia Belanda bahkan sempat salah kaprah dengan menganggap serangan Flu Spanyol sebagai kolera. Akibatnya, setelah muncul beragam gejala, pemerintah menginstruksikan BGD untuk mengadakan vaksinasi kolera di tiap daerah. Kesalahan penanganan itu menyebabkan jumlah korban semakin banyak, mayoritas berasal dari golongan Tionghoa dan Bumiputera.

Kesalahan penanganan tidak hanya dilakukan oleh pemerintah, di level masyarakat pun terjadi. Masyarakat kita pada waktu itu yang kental dengan pemahaman magis, menganggap bahwasannya wabah flu ini terjadi karena diantara mereka ada yang melanggar pantangan atau diantara mereka sedang diganggu roh-roh penunggu.  Oleh karena itu langkah yang perlu diambil untuk memulihkan keadaan adalah dengan mendatangi makam- makam suci di tempat terjadinya wabah dan melaksanakan ritual adat. Adapun yang meyakini bahwa penyakit tersebut disebabkan oleh gangguan roh, maka roh itu mesti diusir dengan melaksanakan upacara tradisional menyembelih jenis-jenis hewan tertentu. Harapan mereka adalah dengan darah hewan-hewan tersebut dapat menghilangkan gangguan semua roh dalam bentuk penyakit influenza tersebut.

Alhasil keadaan malah semakin memburuk karena kesalahan penanganan yang tersebut di atas.  Belajar dari kesalahan penangan di atas, pemerintah melalui Dinas Kesehatan Rakyat (Bugerlijke Gezondheid Diens) segera melakukan penelitian terkait penyakit tersebut. Penelitian ini menghabiskan waktu satu tahun, yakni dari november 1918 sampai bulan november 1919. Selama itu laboratorium sibuk meneliti serum yang dikirim dari Den Haag untuk diteliti lebih lanjut.

Sampai akhirnya, ditemukanlah obat yang dianggap bisa menyembuhkan. Kemudian, langkah-langkah penanganan dan pencegahan pun diambil, hal ini tertuang pada ordonansi penanganan penyakit influenza tahun 1920. Ordonansi adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh Gubernur Jenderal (Gouverneur Generaal) bersama-sama Volksraad (Dewan Rakyat) di Jakarta dan berlaku bagi wilayah Hindia Belanda.

Langkah-langkah pencegahan itu diantaranya membagikan masker kepada warga di wilayah terjangkit, mengingat virus influenza menyebar lewat udara. Lalu penyebarluasan informasi terkait wabah penyakit juga mulai dimasifkan. Baik lewat media propaganda, sarana pendidikan, maupun melalui kesenian warga setempat. Meskipun pada akhirnya pandemi ini hilang dengan sendirinya dikarenakan tingkat penyebaran yang berkurang.

Ada dua perkiraan terkait jumlah korban meninggal karena wabah penyakit Influenza ini. Menurut perkiraan Brown (1987, hal. 235) yang dikutip oleh Siddharth Chandra dari Michigan State University “Di Indonesia, sangat mungkin ada setidaknya 1,5 juta orang meninggal. Perkiraan lainnya dapat diperoleh dari laporan kolonial, yang dihimpun oleh Widjojo (1970, hal. 102), total kematian yakni 1.222.121 dan 930.095 jiwa pada tahun 1918 dan 1919. Menurut Wijoyo, jumlah korban yang fantastis ini dikarenakan respon pemerintah yang lambat, pengambilan kebijakan kesehatan yang tak efektif, dan orang- orang tak bertanggung jawab yang memanfaatkan situasi.

Dari kedua kasus wabah penyakit di atas, cara pemerintah kita dalam menangani pandemi tidak jauh berbeda dengan cara pemerintah kolonial Belanda menangani hal serupa di masa lalu. Hal ini bisa terlihat dari lambatnya, baik pemerintah Indonesia maupun pemerintah colonial Belanda, merespon penyebaran virus pada saat pertama kali muncul, sehingga menimbulkan jumlah korban yang fantastis hanya dalam waktu singkat pasca kasus pertama ditemukan.

Keterlambatan penanganan ini berakar dari pandangan pemerintah terhadap virus yang terkesan meremehkan. Baik pemerintah Indonesia maupun pemerintah kolonial Belanda di masa lalu, sama-sama baru melakukan langkah-langkah serius saat  sudah banyak korban berjatuhan dengan jumlah yang fantastis. Jika apa yang dilakukan pemerintah Indonesia tidak jauh berbeda dengan pemerintah kolonial Belanda, apakah kita sudah benar-benar merdeka?

Referensi:

Chandra, Siddharth. 2013. Mortality from Influenza pandemic of 1918-1919 in Indonesia, Population Studies: A Journal of Demography.

Lie, Ravando.2019. Seabad Flu Spanyol, Historia.id, https://historia.id/sains/articles/seabad-flu-spanyol-DBKbm diakses 27 Maret 2020 pukul 14.00 WIB.

Priyanto, Wibowo, dkk. 2009. YANG TERLUPAKAN Sejarah Pandemi Influenza 1918 di Hindia Belanda. Jakarta: Departemen Sejarah FIB UI.

Ravando. 2019. Belajar Menangani Wabah Global dari Pandemi Flu Spanyol 1918. https://bebas.kompas.id/baca/opini/2020/03/21/belajar-dari-pandemi-flu-spanyol-1918/ diakses pada 27 Maret 2020 pukul 18.42 WIB.

V. Sebastian and Judith Wojcik. 2017. The long-term consequences of the global 1918 influenza pandemic: A systematic analysis of 117 IPUMS international census data sets, Program on The Global Demography of Aging at Harvard University


Penulis: Reza Andika Putra
Editor : Yoga Zara
Baca Juga

Post a Comment

0 Comments