Pengadaan sarana prasarana air bersih
dan sanitasi menjadi salah satu Program Prioritas
Nasional (PPN) dalam RPJMN 2020-2024
dan SDGs 2030 yang mengejar target
90% rumah tangga memiliki akses sanitasi layak (termasuk 15% akses sanitasi aman) dan 0% praktik BABS. Tidak
terkecuali akses air minum dan air bersih, data BPS Susenas 2020 menunjukkan capaian akses
air minum layak di Indonesia saat ini telah mencapai 90,21%.
Dan diharapkan pada akhir tahun 2024 Indonesia
telah berhasil mencapai target 100% akses air minum layak bagi seluruh masyarakatnya.
Tentunya ini menjadi sebuah pencapaian yang besar dan maju, akan tetapi persoalan baru muncul, yaitu soal keberlanjutan dari infrastruktur yang telah dibangun, apakah bisa berfungsi lama dan berkelanjutan atau bertahan beberapa tahun dari sejak peresmian? Tentu pertanyaan seperti ini perlu segera dicari solusi konstruktifnya, karena di satu sisi sarana air bersih dan sanitasi selalu menghabiskan anggaran yang besar, di sisi lain pangadaan sarana dan prasarana ini merupakan hak dasar yang harus didapatkan masyarakat untuk menjamin kenyamanan, keamanan dan kesehatan.
Indikator
sederhana untuk mengukur keberlanjutan sebuah system yang telah terbangun salah satunya adalah dengan melihat
kemampuan dan seberapa
jauh keterlibatan masyarakat yang terlayani terhadap
system yang sudah ada. Masyarakat pada akhirnya
akan menjadi actor utama dalam
menjaga dan merawat system. Untuk itu keterlibatan masyarakat menjadi modal
utama dan juga amanah undang-undang dalam menjamin keberlanjutan sebuah system yang esensial ini.
Berangkat dari semangat UU No.02 Tahun 1999 ayat 92, yang mendefinisikan pemberdayaan masyarakat sebagai ‘suatu usaha untuk meningkatkan rasa memiliki (Sense of belonging) dan partisipasi masyarakat dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan infrastruktur’. Karena dalam banyak kasus, sarana dan prasarana air bersih ataupun sanitasi hanya menjadi monument sejarah yang tidak bisa lagi dimanfaatkan fungsi utamanya bagi masyarakat. Bisa karena ketidaktahuan dalam maintenance ataupun memang sarana dan prasarana tersebut bukan menjadi kebutuhan esensial masyarakat saat itu.
Sehingga perlu dibangunnya sebuah paradigma baru di dalam masyarakat agar mampu mengolah dan mengelola setiap instrumen kebutuhan dasar hidupnya supaya menjadi kesadaran kolektif. Sebuah masyarakat berkelanjutan yang membangun dan menata hidupnya menjadi lebih baik secara bersama-sama dengan bertumpu pada kesadaran tentang pentingnya kesehatan lingkungan hidup yang kemudian berimplikasi kepada kesehatan masyarakat (Joegijantoro, 2021), salah satu upayanya dengan menjamin ketersediaan akses air dan sanitasi yang aman. Kesadaran inilah yang menurut Captra sebagai ecoliteracy dan melek teknologi (Keraf, 2019) yang tentunya perlu dirangsang dan didampingi agar bisa menjadi gerakan nyata.
Gagasan dan keterlibatan masyarakat pada akhirnya menjadi main point dalam menjamin keberlanjutan sarana dan prasarana. Akan tetapi sejauh ini pola-pola yang dilakukan pemerintah cenderung mengedepankan self-interest melalui pola teknokratik, dan cenderung mencari peluang komersil dalam proses dan hasil dari projek air bersih serta sanitasi dan mengesampingkan harapan juga power dari masyarakat. Sehingga, perlu dirumuskan kembali paradigma yang mengedepankan partisipasi masyarakat (korten, 2001). Mulai dekade 1970-an berkembang jenis pembangunan yang berpusat kepada warga (People-centered deveompement), yang juga merupakan sebuah kritik terhadap pola-pola satu arah (Rational Choise) yang masih banyak ditemukan dalam tiap konsep perencanaan pembangunan.
Teori Rational Choise
Teori rational choise atau teori pilihan rasional merupakan sebuah pendekatan ekonomi neo-klasik (Etzioni, 1986), yang mengatakan bahwa manusia merupakan mahluk “homo-economicus” atau “rational-man” yaitu memiliki prinsip untuk memaksimalkan keuntungan.
Sedangkan menurut Koppl dan Whitman (2004) mengatakan bahwa teori pilihan rasional adalah model manusia sebagai pelaku yang selalu memecahkan persoalannya secara optimasi matematik sesuai dengan pilihannya. Dalam kajian hermenetik menunjukkan kesamaan dengan teori neo-klasik yaitu perilaku memilih bertujuan untuk masyarakat dalam pembangunan bertentangan dengan pilihan rasional.
Pembangunan Terpusat pada Warga (People-centered development)
Model pendekatan ini merupakan tandingan dari konsep pembangunan yang terpusat di elite pemerintahan tertentu yang dianggap kurang menyerap aspirasi masyarakat. People-centered development merupakan jenis pembangunan yang berpusat kepada warga (korten, 2001). Bentuknya berupa lembaga swadaya masyarakat (LSM), lembaga pengembangan swadaya masyarakat (LPSM), organisasi non pemerintah, komunitas dll (Halim, 2020).
Di people-centered development, kelompok-kelompok masyarakat di design agar mampu menjadi wadah interaksi antaranggota masyarakat, agar dari interaksi itu memudahkan mereka untuk belajar dari apa yang mereka miliki sendiri, termasuk dalam urusan pembangunan. Paradigma partisipatif ini menjadi jembatan untuk menekankan lokalitas dan penterjemahannya menjadi pembangunan pada level desa, bahkan mengarahkan pembangunan mulai dari desa melalui pengambil keputusan oleh warga. Sehingga seluruh warga mendapat manfaat atas hasil pembangunan secara bersama-sama sesuai dengan apa yang mereka butuhkan.
Urgensitas Pembangunan Berorientasi Masyarakat Dalam Sektor Air dan Sanitasi
Pembangunan berbasis masyarakat adalah pembangunan dari, oleh dan untuk masyarakat itu sendiri. Dalam pembangunan berbasis masyarakat, perempuan, penyandang disabilitas dan masyarakat miskin lebih diberikan peluang untuk terlibat dan mampu menyesuaikan kebutuhan khusus yang mereka miliki terhadap fasilitasi yang akan dibandung. Sejauh ini sarana dan prasarana air dan sanitasi cenderung dilandaskan pada kebutuhan yang bersifat general atau adanya penyamarataan fungsi untuk tiap-tiap masyarakat dan tidak ada perlakuan khusus bagi mereka yang memiliki kebutuhan spesifik seperti contohnya perempuan dan penyandang disabilitas.
Akan tetapi kerap kali hanya orang-orang yang dianggap berpengaruh, punya kuasa dan vocal yang dapat merasakan manfaatnya secara penuh. Beberapa contoh, perempuan tidak datang atau datang namun tidak berbicara selama pertemuan berlangsung yang membahas perencanaan dan pengeolaan layanan karena malu/tidak berani atau ada dominasi dari kaum laki-laki. Bahkan masyarakat miskin yang tinggal dirumah tidak layak huni harus memberikan konstribusi sama besarnya dengan masyarakat yang memiliki standar ekonomi tinggi dan menghasilkan limbah yang lebih banyak. Tentunya ini akan terjawab dengan metode pendekatan partisipatif dengan memberikan ruang khusus kepada pihak-pihak yang memiliki keterbatasan atau kebutuhan khusus untuk menyampaikan aspirasinya.
Dalam hal ini, peran pemerintah berubah dari ‘provider’ atau penyedia menjadi fasilitator untuk layanan air dan sanitasi yang akan dibangun dan dikelola. Metode ini juga menganjurkan masyarakat untuk berkolaborasi dengan pihak lain utamanya dalam perencanaan layanan dan teknologi, pelaksanaan dan pengelolaan dibawah pengawasan dari warga/masyarakat sesuai dengan kompetensi dan kemampuannya masing-masing. Dengan begitu, masyarakat akan semakin merasakan manfaat dengan pembagian tanggung jawab dan kendali yang adil, maka akan semakin besar peluang masyarakat yang terlayani merasakan manfaat dari program atau layanan air dan sanitasi ini.
Referensi:
Nasional Berkelanjutan. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Joegijantoro, Rudy. 2021. Ekologi Kesehatan Lingkungan. Jawa Timur: Intimedia. Keraf, Sonny. 2019. Filsafat Lingkungan Hidup. DIY: PT Kanisius.
Muchtar, H. 2017. “Rational Choice Theory (Teori Pilihan Rasional)”. https://hardiwinoto.com/rational-choice-theory-teori-pilihan-rasional/. Diakses: 1 Maret 2022.
Sijbesma, C dkk. 2010. Buku Panduan Pemberdayaan Masyarakat dengan Pelibatan Jender dan Kemiskinan dalam Pembangunan Sanitasi Kota. Jakarta: Tim Teknis Pembangunan Sanitasi (TTPS).
Penulis: Irsan Muzaki Fadilah
0 Comments