Rosihan
Anwar adalah wartawan senior, afiliasi politiknya saya kira pada PSI. Di buku
itu ia menuturkan kisah-kisah pinggiran di seputar peristiwa besar di republik
ini. Kisah pinggiran yang kerap tak dihitung namun di kemudian hari seringkali
dianggap penting.
Gaya
tuturnya yang amat personal seperti mau membawa kita pada keyakinan bahwa dia
(Rosihan) juga adalah pelaku sejarah, yang peranannya sangat penting dan
menentukan. Padahal dia hanya penutur yang ‘kebetulan’ hadir di seputar
peristiwa besar di republik ini.
Atau bisa saja dia memang peranannya penting, jika saja ia dipanggil jadi saksi kunci peristiwa Kudatuli yang banyak memakan korban jiwa itu. Laporan akhir Komnas HAM: korban jiwa 5 orang, 23 orang hilang, 149 orang terluka. dan 136 orang ditahan.
Dia jelas saksi kunci, sebab di bukunya itu ia bercerita tentang pertemuannya dengan sang komandan, korlap dan beberapa orang penting lainnya yg terlibat dalam peristiwa Kudatuli.
Saya kira, dia tahu bahwa peristiwa itu lebih dari sekedar kerusuhan,
melainkan penyerangan yang terstruktur dan terorganisir yang dilakukan
pemerintah Orde Baru terhadap massa PDI pendukung Megawati.
Sayang
dia tak pernah dipanggil jadi salah satu saksi kunci sampai akhir hayatnya
(2011), karena pengadilan HAM untuk Soeharto dan petinggi ABRI lainnya tak
pernah ada hingga sekarang, sekalipun Megawati pernah jadi presiden beberapa
tahun pasca peristiwa Kudatuli. Sehingga, yang dia ceritakan tetaplah pinggiran,
dalam arti dianggap tidak penting, dan tak relevan oleh penguasa.
Bagaimana dengan Hafidz dan Jejak Kecil di Pinggirannya itu? Saya
kaget saat Hafidz merilis buku “Jejak Kecil di Pinggiran” pada bulan juli.
Kemudian, di bulan agustus ia berhasil menyelesaikan kuliah S2-nya di Unpad
dengan hasil yang memuaskan. Pasalnya, dua hal itu diselesaikan saat ia sedang
sakit. Sakitnya tidak main-main, ia mengalami kebocoran usus dan beberapa
penyakit lainnya sejak pertengahan 2016 yang lalu.
Sakit yang diderita membuat ia harus vakum 2 tahun lamanya dari
penelitian (tesis S2-nya), hal itu ia kemukakan dalam tulisan berjudul “Sekedar
Curhat” yang ia posting di beranda facebooknya, “sejak saya sakit dari dua tahun yang lalu,
saya tak kepikiran untuk membereskan tesis”. Belum lagi masalah-masalah
lainnya, “Apalagi, saya ada tunggakan hingga tiga semester, dan kalau dihitung,
tentu menguras banyak uang. Masalah lain muncul, manakala penelitian saya harus
kembali lagi dari awal, karena belum melakukan revisi setelah seminar
usulan penelitian tiga tahun yang lalu”.
Pun, saat
mengerjakan tesis, ia sampai harus bolak-balik ke IGD, “Dalam waktu dua minggu kurang, saya kembali
harus bekerja keras menulis tesis dari awal. Meski sampai harus bulak-balik ke
IGD. Karena badan diporsir terus dari siang sampai malam”.
Bagi saya, dua hal yang dilakukan Hafidz di atas adalah capaian
yang tidak bisa dipandang sepele apalagi pinggiran. Saya kaget,
bisa-bisanya dia merilis buku dan menyelesaikan sekolah S2-nya dalam waktu
berdekatan, saat sedang sakit pula.
Jelas ini bukan tindakan pinggiran, dibutuhkan
semangat yang menderu dan keyakinan yang kokoh untuk dua hal itu. Lantas kenapa
pula ada kata pinggiran dalam judul bukunya? Seakan-akan dia
hendak melekatkan identitas pinggiran pada dirinya dan lalu
bangga terhadap identitas pinggiran yang dilekatkan.
Untuk menjawab itu pertama-tama mesti saya kemukakan di sini
bahwasannya jelas, saya bukan penguasa di republik ini. Hubungan saya dengan
Hafidz tidak seperti hubungan penguasa (yang cenderung korup) dengan Rosihan
Anwar.
Pengabaian penguasa pada kesaksian Rosihan lebih jauh lagi pada
pelanggaran HAM masa lalu yang tak diusut tuntas adalah tindakan korup
penguasa. Kekuasaan yang mestinya jadi alat mencapai keadilan dan kebahagiaan
publik tidak terjadi di negeri yang katanya republik ini.
Hubungan saya dengan Hafidz perkawanan yang likat, kami disatukan
oleh kePERSIS-an, keLPIK-an, dan yang tak kalah penting kami sama-sama dari
daerah pinggiran. Tempat kami bermukim-- Gedebage bagi Hafidz dan Padalarang
bagi saya-- adalah tempat di mana kapital tengah berekspansi dan mengembangkan
diri.
Di tempat kami, ada alih fungsi lahan sehingga melahirkan tentara
cadangan kerja yang melimpah dan hilangnya ruang publik. Ada juga pembangunan
infrastruktur yang sporadis, yang kerap menimbulkan bencana ekologi, dan
seterusnya, dan seterusnya.
Penekanan Hafidz pada yang pinggiran di bukunya
ini, menarik bagi saya. Setidaknya saya menemukan istilah pinggiran dipakai di
lima tulisan dalam bukunya, di antaranya: 1). Karakteristik Baduy Arab di
Hamparan Padang Pasir, 2). Penyebutan “Baduy” dalam Masyarakat Kanekes, 3).
Kopi, “Emas Hitam” yang Menggoda, 4). Sebuah Kenangan di Kedai Kopi, 5).
Di mana lagi Anak-anak Bermain?.
Dalam lima tulisan tersebut saya menemukan makna positif di balik
istilah pinggiran. Bahkan tidak hanya positif tapi juga ada pesan keberpihakan
pada yang terpinggirkan. Bisa kita baca dalam tulisan berjudul “Di mana
lagi Anak-anak Bermain?”. Anak-anak sebagai subjek yang terpinggirkan dibela
oleh Hafidz.
Menurut Hafidz, anak-anak di wilayahnya kini telah kehilangan
tempat bermain, itu terjadi karena alih fungsi lahan yang dilakukan oleh para
pemilik modal. Saat para pemilik modal datang, lahan yang semula dijadikan
tempat bermain dan ditanami padi, singkong serta ubi, kini ditanami modal
sehingga yang tumbuh adalah apartemen, jalan aspal, perumahan serta bising
suara kendaraan bermotor. Dunia sudah berganti rupa, itu yang membuat Hafidz
gelisah.
Daerahnya adalah Gedebage, daerah pinggiran. Dalam benak Hafidz
daerah pinggiran itu ideal. Di daerah pinggiran, anak-anak bermain bola,
galah ulung, kelereng dan loncat tinggi dengan riang gembira. Di daerah
pinggiran ada sawah yang membentang, empang, kebun dan gubuk-gubuk yang dapat
disinggahi ditambah udara sejuk serta gemericik air yang merdu.
Tapi semua itu hanya tinggal kenangan, dunia sudah berganti rupa
dan Hafidz tidak pernah diajak bicara membangun dunia yang kini ditempati
olehnya. Gedebage kini tengah mengalami sentralisasi ekonomi yang aktornya
penguasa (pemerintah) dan para pemilik modal.
Sejak tahun 2014, menurut Hafidz pemerintah telah mencanangkan
program untuk membuat kawasan Gedebage sebagai wilayah metropolitan. Transisi
dari daerah pinggiran menjadi daerah sentra ekonomi yang mayoritas
keuntungannya masuk ke kantong penguasa dan pemilik modal memang tidak akan
menguntungkan public. Karena yang melatari hubungan antara pengusaha-penguasa
dengan public adalah ketidaksetaraan kuasa.
Pengusaha memiliki kuasa ekonomi karena alat produksi dimiliki
olehnya, dan penguasa memiliki kuasa politik, sedangkan public pada
kenyataannya tidak. Oleh karena itu wajar saja jika Hafidz tak diajak bicara,
karena ia adalah publik yang pada kenyataannya tak punya kuasa baik ekonomi
maupun politik.
Dengan kata lain, ideal pinggiran sudah tak ditemukan lagi di Gedebage.
Ideal itu justru ditemukan di kedai kopi pinggir jalan milik kawannya, Bukbis.
Kedai kopi itu bernama Kopinamana. Hal itu ia kemukakan dalam tulisannya yang
berjudul “Sebuah Kenangan di Kedai Kopi”.
Di Kopinamana, Hafidz bisa dengan bebas merealisasikan potensi
dirinya sebagai manusia. “Di sana saya bisa melakukan apa saja, bisa datang dan
pulang kapan pun saya mau. Bahkan sekitar 3 tahun yang lalu, saya bersama Amin
sering bermain catur hingga menjelang subuh. Di saat sang pemilik kedai sudah
terlihat tak karuan, saya dan Amin masih beradu strategi sampai menghabiskan
bergelas-gelas seduhan Arabica”. Tak hanya itu, Hafidz juga pernah mengadakan
diskusi yang cukup serius di Kopinamana.
Yang pinggiran tidak lagi ditemukan di Gedebage, Gedebage tidak
lagi pinggiran, urbanisasi tengah terjadi di Gedebage. Itu semua menghambat
realisasi potensi diri Hafidz oleh karena itu Hafidz gelisah.
Perubahan memang keniscayaan, tapi bukan perubahan macam ini yang Hafidz
inginkan. Perubahan seharusnya tidak menyingkirkan anak-anak, perubahan
seharusnya tidak membabat habis tempat bermain. Hafidz adalah public dan public
butuh ruang.
Ruang publik itu adalah ruang di mana publik bisa bermain dengan
riang gembira dan merealisasikan potensi dirinya sebagai manusia. Sederhana
bukan? Jadi tidak sederhana saat actor pembangunan hanya pengusaha dan
penguasa zonder publik.
Karakteristik dan watak orang pinggiran memang sederhana, Hafidz
faham betul akan hal itu. Jika tidak, untuk apa ia menempatkan tulisan berjudul
“Karakteristik Baduy Arab di Hamparan Padang Pasir” di halaman pertama bukunya.
Di tulisan itu Hafidz bercerita tentang karakteristik dan watak
orang-orang Baduy. Orang-orang Baduy hidup dengan cara berpindah-pindah, mereka
menempati wilayah pinggiran kota-kota yang ada di Arab Utara. Cara mereka hidup
dengan berpindah-pindah itulah yang membedakan mereka dengan orang-orang Arab
kota yang menetap. Atas dasar itu mereka dikategorikan sebagai orang-orang Arab
pinggiran.
Watak mereka menurut Hafidz, mengutif Ibn Khaldun, adalah tidak
mudah menerima hidup mewah, sangat jauh berbeda dan bertolak belakang dengan
orang Arab perkotaan yang menetap.
Dapat dilihat dari kebiasaan mereka membangun rumah. Mereka
membangun rumah-rumah dari kayu, tanah liat atau dari batu tanpa dibuat
menarik. Bagi orang-orang Baduy, yang terpenting ialah dapat bernaung dan
bertempat tinggal di rumah-rumah sederhana yang mereka buat. Adapun makanan
yang mereka peroleh, diolah dengan cara yang sederhana juga. Biasanya hanya
dibakar di atas api.
Sampai di sini jelas kiranya, istilah pinggiran oleh Hafidz
dimaknai secara positif bahkan dibela atau diperlakukan sebagai sesuatu yang
politis, terutama saat Hafidz gelisah pada para pemilik modal dan pemerintah.
Atau sekurang-kurangnya istilah pinggir/pinggiran digunakan untuk
menetralkan terjemahan dari kata panamping. Dalam tulisan berjudul
“Penyebutan Baduy dalam Masyarakat Kanekes”, dengan mengutif
pendapat Saleh dan Anis, Hafidz mengatakan bahwa panamping tidak
hanya berarti buang/pembuangan tapi juga berarti daerah
pinggiran atau luar.
Saya kira itulah pinggiran bagi Hafidz, dan jika boleh saya tidak sepakat dengan kang Hawe, Hafidz tidak hanya berpotensi jadi intelektual publik melainkan dia sudah menjadi intelektual publik. Karena dia sudah menyuarakan apa-apa yang publik, kepentingan publik lewat bukunya “ Jejak Kecil di Pinggiran”. Ayo Mang Hafidz, maju terus! Jalan panjang terbentang di depan sana.
Penulis: Yoga Zara
0 Comments