Publik itu Pinggiran

Buku berjudul "Jejak Kecil di Pinggiran" yang merupakan kumpulan tulisan kawan Hafidz Azhar mengingatkan saya pada buku yang ditulis Rosihan Anwar sampe berjilid-jilid berjudul "Petite Histoire Indonesia". 

Rosihan Anwar adalah wartawan senior, afiliasi politiknya saya kira pada PSI. Di buku itu ia menuturkan kisah-kisah pinggiran di seputar peristiwa besar di republik ini. Kisah pinggiran yang kerap tak dihitung namun di kemudian hari seringkali dianggap penting. 

Gaya tuturnya yang amat personal seperti mau membawa kita pada keyakinan bahwa dia (Rosihan) juga adalah pelaku sejarah, yang peranannya sangat penting dan menentukan. Padahal dia hanya penutur yang ‘kebetulan’ hadir di seputar peristiwa besar di republik ini.

 

Atau bisa saja dia memang peranannya penting, jika saja ia dipanggil jadi saksi kunci peristiwa Kudatuli yang banyak memakan korban jiwa itu. Laporan akhir Komnas HAM: korban jiwa 5 orang, 23 orang hilang, 149 orang terluka. dan 136 orang ditahan. 


Foto ini diambil di PN Bandung pada tahun 2018, saat Ormawa Pembebasan bersama Aliansi Pelajar Bandung menggelar protes terhadap kriminalisasi yang dilakukan negara terhadap beberapa aktivis Sukoharjo yang menolak pencemaran lingkungan oleh salah satu perusahaan tekstile di wilayah tersebut. Dok. Pribadi

 

Dia jelas saksi kunci, sebab di bukunya itu ia bercerita tentang pertemuannya dengan sang komandan, korlap dan beberapa orang penting lainnya yg terlibat dalam peristiwa Kudatuli. 


Saya kira, dia tahu bahwa peristiwa itu lebih dari sekedar kerusuhan, melainkan penyerangan yang terstruktur dan terorganisir yang dilakukan pemerintah Orde Baru terhadap massa PDI pendukung Megawati.

 

Sayang dia tak pernah dipanggil jadi salah satu saksi kunci sampai akhir hayatnya (2011), karena pengadilan HAM untuk Soeharto dan petinggi ABRI lainnya tak pernah ada hingga sekarang, sekalipun Megawati pernah jadi presiden beberapa tahun pasca peristiwa Kudatuli. Sehingga, yang dia ceritakan tetaplah pinggiran, dalam arti dianggap tidak penting, dan tak relevan oleh penguasa. 



Bagaimana dengan Hafidz dan Jejak Kecil di Pinggirannya itu? Saya kaget saat Hafidz merilis buku “Jejak Kecil di Pinggiran” pada bulan juli. Kemudian, di bulan agustus ia berhasil menyelesaikan kuliah S2-nya di Unpad dengan hasil yang memuaskan. Pasalnya, dua hal itu diselesaikan saat ia sedang sakit. Sakitnya tidak main-main, ia mengalami kebocoran usus dan beberapa penyakit lainnya sejak pertengahan 2016 yang lalu.

Sakit yang diderita membuat ia harus vakum 2 tahun lamanya dari penelitian (tesis S2-nya), hal itu ia kemukakan dalam tulisan berjudul “Sekedar Curhat” yang ia posting di beranda facebooknya, “sejak saya sakit dari dua tahun yang lalu, saya tak kepikiran untuk membereskan tesis”. Belum lagi masalah-masalah lainnya, “Apalagi, saya ada tunggakan hingga tiga semester, dan kalau dihitung, tentu menguras banyak uang. Masalah lain muncul, manakala penelitian saya harus kembali lagi dari awal, karena belum melakukan revisi setelah seminar usulan penelitian tiga tahun yang lalu”. 

Pun, saat mengerjakan tesis, ia sampai harus bolak-balik ke IGD, “Dalam waktu dua minggu kurang, saya kembali harus bekerja keras menulis tesis dari awal. Meski sampai harus bulak-balik ke IGD. Karena badan diporsir terus dari siang sampai malam”. 

Bagi saya, dua hal yang dilakukan Hafidz di atas adalah capaian yang tidak bisa dipandang sepele apalagi pinggiran. Saya kaget, bisa-bisanya dia merilis buku dan menyelesaikan sekolah S2-nya dalam waktu berdekatan, saat sedang sakit pula. 

Jelas ini bukan tindakan pinggiran, dibutuhkan semangat yang menderu dan keyakinan yang kokoh untuk dua hal itu. Lantas kenapa pula ada kata pinggiran dalam judul bukunya? Seakan-akan dia hendak melekatkan identitas pinggiran pada dirinya dan lalu bangga terhadap identitas pinggiran yang dilekatkan. 

Untuk menjawab itu pertama-tama mesti saya kemukakan di sini bahwasannya jelas, saya bukan penguasa di republik ini. Hubungan saya dengan Hafidz tidak seperti hubungan penguasa (yang cenderung korup) dengan Rosihan Anwar. 

Pengabaian penguasa pada kesaksian Rosihan lebih jauh lagi pada pelanggaran HAM masa lalu yang tak diusut tuntas adalah tindakan korup penguasa. Kekuasaan yang mestinya jadi alat mencapai keadilan dan kebahagiaan publik tidak terjadi di negeri yang katanya republik ini. 

Hubungan saya dengan Hafidz perkawanan yang likat, kami disatukan oleh kePERSIS-an, keLPIK-an, dan yang tak kalah penting kami sama-sama dari daerah pinggiran. Tempat kami bermukim-- Gedebage bagi Hafidz dan Padalarang bagi saya-- adalah tempat di mana kapital tengah berekspansi dan mengembangkan diri. 

Di tempat kami, ada alih fungsi lahan sehingga melahirkan tentara cadangan kerja yang melimpah dan hilangnya ruang publik. Ada juga pembangunan infrastruktur yang sporadis, yang kerap menimbulkan bencana ekologi, dan seterusnya, dan seterusnya.

Penekanan Hafidz pada yang pinggiran di bukunya ini, menarik bagi saya. Setidaknya saya menemukan istilah pinggiran dipakai di lima tulisan dalam bukunya, di antaranya: 1). Karakteristik Baduy Arab di Hamparan Padang Pasir, 2). Penyebutan “Baduy” dalam Masyarakat Kanekes, 3). Kopi, “Emas Hitam” yang Menggoda,  4). Sebuah Kenangan di Kedai Kopi, 5). Di mana lagi Anak-anak Bermain?. 

Dalam lima tulisan tersebut saya menemukan makna positif di balik istilah pinggiran. Bahkan tidak hanya positif tapi juga ada pesan keberpihakan pada yang terpinggirkan. Bisa kita baca dalam tulisan berjudul “Di mana lagi Anak-anak Bermain?”. Anak-anak sebagai subjek yang terpinggirkan dibela oleh Hafidz. 

Menurut Hafidz, anak-anak di wilayahnya kini telah kehilangan tempat bermain, itu terjadi karena alih fungsi lahan yang dilakukan oleh para pemilik modal. Saat para pemilik modal datang, lahan yang semula dijadikan tempat bermain dan ditanami padi, singkong serta ubi, kini ditanami modal sehingga yang tumbuh adalah apartemen, jalan aspal, perumahan serta bising suara kendaraan bermotor. Dunia sudah berganti rupa, itu yang membuat Hafidz gelisah.

Daerahnya adalah Gedebage, daerah pinggiran. Dalam benak Hafidz daerah pinggiran itu ideal.  Di daerah pinggiran, anak-anak bermain bola, galah ulung, kelereng dan loncat tinggi dengan riang gembira. Di daerah pinggiran ada sawah yang membentang, empang, kebun dan gubuk-gubuk yang dapat disinggahi ditambah udara sejuk serta gemericik air yang merdu. 

Tapi semua itu hanya tinggal kenangan, dunia sudah berganti rupa dan Hafidz tidak pernah diajak bicara membangun dunia yang kini ditempati olehnya. Gedebage kini tengah mengalami sentralisasi ekonomi yang aktornya penguasa (pemerintah) dan para pemilik modal. 

Sejak tahun 2014, menurut Hafidz pemerintah telah mencanangkan program untuk membuat kawasan Gedebage sebagai wilayah metropolitan. Transisi dari daerah pinggiran menjadi daerah sentra ekonomi yang mayoritas keuntungannya masuk ke kantong penguasa dan pemilik modal memang tidak akan menguntungkan public. Karena yang melatari hubungan antara pengusaha-penguasa dengan public adalah ketidaksetaraan kuasa. 

Pengusaha memiliki kuasa ekonomi karena alat produksi dimiliki olehnya, dan penguasa memiliki kuasa politik, sedangkan public pada kenyataannya tidak. Oleh karena itu wajar saja jika Hafidz tak diajak bicara, karena ia adalah publik yang pada kenyataannya tak punya kuasa baik ekonomi maupun politik.

Dengan kata lain, ideal pinggiran sudah tak ditemukan lagi di Gedebage. Ideal itu justru ditemukan di kedai kopi pinggir jalan milik kawannya, Bukbis. Kedai kopi itu bernama Kopinamana. Hal itu ia kemukakan dalam tulisannya yang berjudul “Sebuah Kenangan di Kedai Kopi”.  

Di Kopinamana, Hafidz bisa dengan bebas merealisasikan potensi dirinya sebagai manusia. “Di sana saya bisa melakukan apa saja, bisa datang dan pulang kapan pun saya mau. Bahkan sekitar 3 tahun yang lalu, saya bersama Amin sering bermain catur hingga menjelang subuh. Di saat sang pemilik kedai sudah terlihat tak karuan, saya dan Amin masih beradu strategi sampai menghabiskan bergelas-gelas seduhan Arabica”. Tak hanya itu, Hafidz juga pernah mengadakan diskusi yang cukup serius di Kopinamana.   

Yang pinggiran tidak lagi ditemukan di Gedebage, Gedebage tidak lagi pinggiran, urbanisasi tengah terjadi di Gedebage. Itu semua menghambat realisasi potensi diri Hafidz oleh karena itu Hafidz gelisah. 

Perubahan memang keniscayaan, tapi bukan perubahan macam ini yang Hafidz inginkan. Perubahan seharusnya tidak menyingkirkan anak-anak, perubahan seharusnya tidak membabat habis tempat bermain. Hafidz adalah public dan public butuh ruang. 

Ruang publik itu adalah ruang di mana publik bisa bermain dengan riang gembira dan merealisasikan potensi dirinya sebagai manusia. Sederhana bukan? Jadi tidak sederhana saat actor pembangunan hanya pengusaha dan penguasa zonder publik. 

Karakteristik dan watak orang pinggiran memang sederhana, Hafidz faham betul akan hal itu. Jika tidak, untuk apa ia menempatkan tulisan berjudul “Karakteristik Baduy Arab di Hamparan Padang Pasir” di halaman pertama bukunya.

Di tulisan itu Hafidz bercerita tentang karakteristik dan watak orang-orang Baduy. Orang-orang Baduy hidup dengan cara berpindah-pindah, mereka menempati wilayah pinggiran kota-kota yang ada di Arab Utara. Cara mereka hidup dengan berpindah-pindah itulah yang membedakan mereka dengan orang-orang Arab kota yang menetap. Atas dasar itu mereka dikategorikan sebagai orang-orang Arab pinggiran. 

Watak mereka menurut Hafidz, mengutif Ibn Khaldun, adalah tidak mudah menerima hidup mewah, sangat jauh berbeda dan bertolak belakang dengan orang Arab perkotaan yang menetap. 

Dapat dilihat dari kebiasaan mereka membangun rumah. Mereka membangun rumah-rumah dari kayu, tanah liat atau dari batu tanpa dibuat menarik. Bagi orang-orang Baduy, yang terpenting ialah dapat bernaung dan bertempat tinggal di rumah-rumah sederhana yang mereka buat. Adapun makanan yang mereka peroleh, diolah dengan cara yang sederhana juga. Biasanya hanya dibakar di atas api.

Sampai di sini jelas kiranya, istilah pinggiran oleh Hafidz dimaknai secara positif bahkan dibela atau diperlakukan sebagai sesuatu yang politis, terutama saat Hafidz gelisah pada para pemilik modal dan pemerintah. 

Atau sekurang-kurangnya istilah pinggir/pinggiran digunakan untuk menetralkan terjemahan dari kata panamping. Dalam tulisan berjudul “Penyebutan Baduy dalam Masyarakat Kanekes”, dengan mengutif pendapat Saleh dan Anis, Hafidz mengatakan bahwa panamping tidak hanya berarti buang/pembuangan tapi juga berarti daerah pinggiran atau luar

Saya kira itulah pinggiran bagi Hafidz, dan jika boleh saya tidak sepakat dengan kang Hawe, Hafidz tidak hanya berpotensi jadi intelektual publik melainkan dia sudah menjadi intelektual publik. Karena dia sudah menyuarakan apa-apa yang publik, kepentingan publik lewat bukunya “ Jejak Kecil di Pinggiran”. Ayo Mang Hafidz, maju terus! Jalan panjang terbentang di depan sana.  


Penulis: Yoga Zara

Baca Juga

Post a Comment

0 Comments