Begitu juga sentimen yang melekat antara perempuan dapur, sumur, kasur yang ditanamkan sejak dini oleh para orang tua. Yang kemudian mengajarkan kepada para istri bahwa mereka cukuplah mengabdi di rumah tangga saja. Membatasi ruang gerak perempuan seolah berputar pada urusan domestik saja. Wajar bila banyak perempuan seperti saya resah atau bahkan jengkel. Benarkah demikian? Padahal, keluarga itu struktur sosial terkecil yang idealnya memang dirawat dengan baik beriringan dengan kontribusi pada struktur yang lebih besar lagi : masyarakat. Mengapa ada sekat bagi kami kaum perempuan jika kedua nya dapat dijalankan secara beriringan ?
Dalam Lintasan Sejarah, Upaya Untuk Mengakui Hak Politik Perempuan Telah Menempuh Proses Dan Perjuangan Yang Panjang
Saya suka membaca sejarah, tetapi sedih menemukan fakta bahwa banyak sekali tokoh wanita hebat sejak dahulu hampir tidak mendapat perhatian atau apresiasi yang cukup. Hormat dan bangga setinggi-tingginya bagi para pendahulu yang terus memperjuangkan emansipasi walau nampaknya secara sistematis telah dihapuskan dari sejarah.
Setidaknya banyak penemuan masyhur yang kurang diekspos, kisah heroiknya mengorganisir angkatan perang. Pun juga kurang munculnya kisah mengenai peran vital kaum perempuan dalam peristiwa bersejarah yang mampu merombak struktur kekuasaan selevel revolusi Prancis. Bahkan dalam peradaban Yunani kuno, yang digadang-gadang sebagai awal mula bentuk pemerintahan demokrasi pertama di dunia kuno. Hanya orang bebas yang dianggap sebagai warga negara. Perempuan,anak-anak dan budak tidak dianggap sebagai bagian darinya sehingga tidak dapat memilih. Bahkan tidak ada perempuan yang pernah memperoleh kewarganegaraan di Athena kuno.
Memang perempuan pernah berada dalam posisi yang diunggulkan, segala yang berkaitan dengan alam dikaitkan dengan sosok ibu, peradaban di belahan bumi manapun memiliki figur -figur feminine yang disucikan serta dihormati dalam kepercayaan folklore budaya setempat. Garis keturunan berasal dari keluarga ibu / maternal. Utamanya dalam masyarakat komune primitif . Kaum laki-laki dan perempuan bekerja secara kolektif. Tidak ada pembedaan berdasarkan jenis kelamin dalam kerja produksi dan kegiatan ekonomi maupun dalam aspek kebudayaan. Dalam mengambil sebuah kebijakan di tengah masyarakat yang dilakukan melalui musyawarah. Seluruh anggota komunitas ikut serta memutuskan dan termasuk kaum perempuan yang mempunyai hak yang sama. Disini, sistem ekonomi yang menjadi basis sosial dalam struktur masyarakat akan menentukan aspek kehidupan lainnya. Bahkan, sistem agrikultur (bercocok tanam) merupakan suatu sumbangsih besar dari perempuan sekaligus mengakhiri pola hidup nomaden, mengembara dan berpindah-pindah tempat.
Perempuan mulai tersubordinasi saat memasuki transisi ke periode perbudakan, yang membentuk struktur masyarakat berklas yang masih berdampak hingga saat ini. Kepemilikan budak menjadi ciri khas, diikuti oleh konflik antar komunal dalam persaingan sumber daya alam yang semakin terbatas. Peperangan ini dipicu oleh persaingan mendapatkan makanan di tengah kebutuhan masyarakat yang terus meningkat. Konflik tersebut menyebabkan peningkatan jumlah budak akibat kekalahan dalam peperangan. Selain itu, pada masa ini terjadi penguasaan terhadap tanah oleh tuan budak, yang menjadi cikal bakal munculnya bentuk kekuasaan feodal pada masa pemerintahan raja-raja. Korban merupakan perempuan salahsatunya, menjadi sasaran kekerasan dan tolak ukur kekayaan.
Maka kolonialisme melalui aktivitas ekonomi, politik, militer, dan kebudayaan mampu memperkuat sistem feodalisme di Indonesia. Kongsi dagang Belanda, yaitu VOC (Verenigde Oostindische Compagnie) menancapkan kekuasaan tunggal di kepulauan Indonesia pertama kali.
Masa ini perempuan mengalami perbedaan secara nyata. Kaum perempuan yang bekerja di perkebunan dan pertanian kolonial Belanda, harus mendapatkan upah yang berbeda dari kaum laki-laki. Demikian di masa politik Etis yang diterapkan Belanda di Indonesia. Perempuan terdiskriminasi untuk memperoleh pendidikan karena pendidikan hanya ditujukan kepada kaum laki-laki dan secara khusus dapat dijangkau oleh kaum bangsawan atau priyayi
Perbedaan jenis kelamin dalam aktivitas ekonomi, politik, dan kebudayaan dalam masyarakat semakin hari semakin nyata dirasakan kaum perempuan. Domestikasi peran kaum perempuan semakin meluas seiring dengan pembagian kelas dalam masyarakat.Berbagai macam ajaran dan kebudayaan yang muncul pada era ini. Semuanya menempatkan kaum perempuan di posisi belakang dari kaum laki-laki. Setelah ditindas dan dihisap untuk terus melakukan kerja produksi di lapangan. Memang benar dalam sejarahnya, berbagai kerajaan pernah dipimpin oleh seorang ratu perempuan. Namun hakikatnya, dia adalah perwakilan kelas tuan budak atau tuan tanah feodal sebagai kelas yang berkuasa dan wataknya akan mempertahankan sistem kebudayaan yang terbelakang. bertujuan untuk mempertahankan system (status quo). Kira-kira, apakah model seperti ini masih terjadi hingga sekarang?
Kemerdekaan Indonesia menjadi momentum penting menuju kebangkitan gerakan perempuan yang berfokus pada isu-isu politik yang kemunculannya cukup beriringan dengan perkembangan gerakan-gerakan nasionalis yang dicetuskan oleh para intelektual (laki-laki) pada 1920-an. Kongres tersebut untuk pertama kalinya diselenggarakan hanya beberapa bulan setelah Kongres Pemuda II yang diselenggarakan pada Oktober 1928. Bahkan tanggal pelaksanaannya, yaitu 22 Desember, pada kemudian hari disahkan secara hukum sebagai Hari Ibu Nasional.
Setelah proklamasi kemerdekaan, kelompok pergerakan perempuan di Indonesia bangkit kembali dengan tujuan mengisi kemerdekaan yang baru diraih. “Kursus Wanita” 1947, terutama kelas politik formal untuk perempuan, menjadi inisiatif yang terkait erat dengan agenda tersebut. Perempuan didorong untuk berpartisipasi dalam pembentukan Indonesia, khususnya melalui ranah politik. Akses terhadap pengetahuan politik diharapkan membangkitkan kesadaran politis, mendorong partisipasi aktif perempuan dalam menentukan arah negara yang baru merdeka. Soekarno merupakan salah satu tokoh yang mendorong aktivitas ini, ia juga sempat menulis karya sarinah . Yang kemudian gagasan nya redup seiring upaya de-sukarnoisasi dan kehidupan personalnya yang gemar akan poligami.
Partisipasi nyata dan dijaminnya hak-hak politik perempuan tercermin pada pemilu tahun 1955 dimana perempuan Indonesia berhak untuk dipilih dan memilih. Hak politik yang sama antara laki-laki dan perempuan dengan lahirnya UU No. 80 Tahun 1958 yang menjamin adanya prinsip pembayaran yang sama untuk pekerjaan yang sama antara perempuan dan laki-laki. Mereka tidak dibedakan dalam sistem penggajian. Demikian juga dengan terpilihnya Maria Ulfa menjadi menteri sosial pada kabinet Syahrir II (1946) dan SK. Trimurti menjadi Menteri perburuhan pada kabinet Amir Sjarifuddin (1947- 1948).
Pembicaraan mengenai keterwakilan politik perempuan tidak dapat dilepaskan dari partisipasi politik perempuan secara umum. Indonesia sudah meratifikasi dua konvensi yang berkaitan dengan partisipasi politik perempuan. Sebelum meratifikasi Konvensi CEDAW, Indonesia telah meratifikasi Konvensi tentang Hak-hak Politik Perempuan (The Convention on Political Rights of Women) pada 12 Desember 1958. Kemunculan konvensi tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap wanita atau Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW) adalah upaya untuk menjamin hak-hak perempuan.
Pada tahun 2002, meskipun mengalami kegagalan dalam proses advokasi, aktivis perempuan tetap gigih dan kembali beraksi untuk mengadvokasi RUU Pemilu yang akan menjadi dasar hukum pemilu 2004. Melalui Rapat Dengan Pendapat Umum pada 28 Agustus 2022, KPPI mengusulkan kuota 30% keterwakilan perempuan dalam politik. Setelah melewati proses yang panjang, persetujuan DPR untuk mencantumkan klausul tentang kuota perempuan di parlemen berhasil dicapai pada 18 Februari 2003. Keberhasilan ini menandai pengakuan resmi terhadap keterwakilan perempuan dalam politik Indonesia untuk pertama kalinya dalam sejarah perjuangan mereka.
Apakah sudah cukup puas dengan pencapaian ini teman-teman? Menurut catatan pemilu terakhir tahun 2019 memang terjadi peningkatan dari periode sebelumnya, di mana keterwakilan perempuan di politik hanya 18 persen. Keterwakilan perempuan 21 persen diketahui membuat Indonesia berada di peringkat ke-7 di Asia Tenggara.
Depolitisasi Perempuan Indonesia, sejak kapan?
Mengapa dalam suatu periode tertentu (pasca tahun 1950) , dinamika gerakan perempuan di Indonesia mengalami kemerosotan, padahal di belahan dunia lain, gerakan perempuan sedang mulai bangkit? Cukup ironis ya.
Yang terjadi sesungguhnya selama Orde Baru berkuasa selama lebih dari 30 tahun adalah depolitisasi perempuan. Perkumpulan dari perempuan sadar politik diberangus, lalu memutarbalik gagasan tentang perempuan Indonesia yang ideal. Organisasi istri tentara dan PNS, PKK, Kowani, semuanya diarahkan untuk mengembalikan perempuan ke ranah domestik hanya sebagai pelengkap suami dan rumah tangga. Tercermin melalui kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan bagi perempuan. Kelas politik digantikan dengan kelas-kelas keterampilan yang arahnya sekali lagi untuk menjaga perempuan berada di tataran ranah domestik. Politik, baik dalam konteks praktik maupun gagasan, menjadi ruang yang hanya patut diisi oleh laki-laki.
Kampanye hitam yang disebar oleh Soeharto, membuat kaum perempuan semakin terpinggirkan akan hak-haknya terutama untuk kesetaraan berpolitik. Sehingga pada masanya berkembang narasi bahwa perempuan yang berpolitik, vokal, dicap sebagai perempuan liar dan kotor. Dan indoktrinasi ini masih kuat tertanam hingga sekarang.
Tentu tiada salahnya dengan kegiatan berdandan, menjahit, memasak. Tapi bayangkan kita pernah memiliki majalah yang berisi rubrik-rubrik resep makanan dan tips merawat wajah dengan pidato tokoh-tokoh revolusioner. Kombinasi yang mewarnai dimensi dunia perempuan, pertemuan antara urusan domestik dengan gagasan-gagasan politik, pemberian ruang ekspresi yang beragam bagi perempuan. Menyenangkan!
Ditengah upaya kontrol negara terhadap aktivitas organisasi, organisasi keagamaan Islam baik di tingkat remaja masjid, mahasiswa maupun masyarakat kian tumbuh subur. Mayoritas konsisten bergerak di bidang pendidikan, gerakan dakwah dan sosial. Di tengah kuatnya upaya diskriminasi dalam bentuk larangan dan pembatasan oleh rezim orde baru, salah satunya mengenai pelarangan penggunaan atribut keagamaan (kerudung). Mereka juga terus istiqamah memperjuangkan hak nya dalam menjalankan syariat.
Gejolak penolakan otoritarianisme pecah seiring meruncingnya kontradiksi terhadap rezim orde baru yang akhirnya berhasil digulingkan. Gerakan 98’yang dimotori mahasiswa itu bak kisah romantis romeo-juliet yang diceritakan turun temurun. Anak zaman terbaik yang menghiasi berita, mengepalkan tangan , dijuluki angkatan reformasi itu kini berkubang dalam gerbong kekuasaan. Hari -hari kemenangan yang akan datang mesti dijemput pertama-tama dengan cara merapikan barisan dan menyimpulkan pelajaran. :)
Jika direfleksikan kembali kemunduran peran politik perempuan dalam waktu tiga dekade itu, mungkin saja, tidak butuh waktu bertahun-tahun menunggu regulasi yang mencegah dan melindungi perempuan dari kekerasan seksual, disahkannya RUU PRT atau bahkan bersama menggagalkan UU Ciptakerja yang malah berupaya melucuti hak biologis perempuan pekerja dalam hal cuti haid dan cuti melahirkan, semua perempuan berani menyatakan sikap dan berhak beradu gagasan di hadapan publik. Tidak lagi- lagi kecolongan akan regulasi yang dibentuk tidak berpihak pada rakyat.
Mampukah mengatasi tantangan sebagai berikut?
Diskriminasi jenis kelamin dalam kerja produksi, sistem pengupahan yang berbeda antara laki-laki dan perempuan, tidak dipenuhinya hak natural kaum perempuan seperti haid, hamil, melahirkan, perlindungan anak, kesehatan ibu dan anak-anak. Semakin besarnya mobilisasi tenaga kerja dari kalangan perempuan yang menjadi tulang punggung baik di pabrik, perkebunan, pekerja rumah tangga ataupun menjadi buruh migran. Sedangkan perlindungan kerja yang didapat kaum perempuan dari Negara sangat-sangatlah rendah. Berkembangnya kebudayaan yang teramat terbelakang yang menjadikan kaum perempuan rentan terhadap objektifikasi, perdagangan manusia, kekerasan dan pelecehan seksual hingga menjadi pekerja seks. Dalam aspek ini pula, perempuan terutama di pedesaan masih mendapatkan diskriminasi dan kesulitan untuk mengakses pendidikan yang merupakan hak setiap warga negara di Indonesia.
Dalam cakupan yang lebih luas, mampukah kaum perempuan aktif hadir di tengah perang abadi ekonomi terhadap planet beserta segenap penghuninya karena perekonomian korporasi global berdiri atas gagasan pertumbuhan tak terbatas (kapitalisme)? Bagaimana ketika produk neoliberalisme dalam bentuk deregulasi besar-besaran telah merugikan dan berdampak dahsyat pada kelangsungan hidup banyak orang?
Sebagian wanita menerima kenyataan posisi laki-laki dengan perempuan, dan yang menjadi titik tekan adalah pada sisi keadilan. Perbedaan gender berupa pemilahan sifat, fungsi biologis, peran dalam masyarakat tidak menjadi masalah sepanjang tidak memicu ketidakadilan. Namun celakanya, perbedaan gender telah menciptakan berbagai ketidakadilan, bukan saja bagi kaum perempuan tetapi juga pada kaum laki-laki. Ketidakadilan gender pada umumnya termanifestasi dalam empat hal yakni, marginalisasi, subordinasi, stereotip, kekerasan dan beban ganda”.
Jangan mengartikan perjuangan politik hanya sebatas dalam pemilu 5 tahunan itu (politik elektoral). Pemilu adalah memilih wakil / representasi, dan bukan delegasi. Dalam parlemen, tidak ada pemeriksaan mandat dari konstituen atau pencabutan mandat (recall). Karena semenjak seorang anggota parlemen terpilih, hubungannya dengan pemilihnya secara formal terputus. Setelah mencoblos, lalu apa? Ingat bahwa tidak ada jaminan walau terlibat dalam proses penyerahan suara, bukan berarti kita serta merta menyerahkan separuh urusan hidup kepada mereka yang terpilih. Hak kita semua sebagai masyarakat sipil harus terus direbut dan dipertaruhkan setiap harinya. Segitu aja deh…
Salam demokrasi!
0 Comments