Diskusi buku ‘Kekerasan Budaya’ ini dipantik oleh Prayoga dan dimoderatori oleh M Akmal Firmansyah. Prayoga memaparkan bahwa, “melalui buku ini WIjaya Herlambang mengajak kita terjun bebas masuk ke dalam proses bagaimana suatu pemahaman bisa terbentuk sampai mapan, bertahan lama bahkan jauh setelah sponsor utamanya tumbang, yakni pemerintahan Soeharto. Pemahaman yang dimaksud ialah, pemahaman tentang betapa durjananya orang-orang komunis, komunisme dan simpatisannya. Pemahaman ini disebut juga Ideologi Anti-Kom”.
Ajakan Wijaya dalam bukunya itu menurut Prayoga tidak salah jika disambut dengan pikiran terbuka. Sebab menurutnya sangat merepotkan jika pikiran tertutup digunakan oleh generasi yang lahir setelah Orde Baru tumbang. Generasi yang lahir setelah Orde Baru tumbang tidak pernah merasakan situasi ketertutupan informasi, ketertutupan politik dan ketertutupan-ketertutupan lainnya. Sehingga suatu hal yang mengherankan jika pikiran tertutup digunakan untuk merespon ajakan Wijaya.
Menurut pemantik, Wijaya menempatkan kampanye ideologi Anti-Kom menggunakan produk budaya juga adalah kekerasan. Wijaya mengkategorikan kekerasan menggunakan medium kebudayaan masuk kategori kekerasan tak langsung. Bahkan, kekerasan budaya jauh lebih berpengaruh terhadap pelestarian ideologi Anti-Kom. Lewat medium budaya, kekerasan yang terjadi pasca pembunuhan 7 jendral, tepatnya pembantaian terhadap orang-orang yang dituduh komunis serta simpatisannya adalah sesuatu hal yang normal, wajar, dan dibenarkan. Atas dasar itu, pemantik di tengah-tengah diskusi mengungkapkan bahwasaannya karya seni/budaya tidaklah bebas nilai. Di dalamnya termuat kecenderungan/keberpihakan terhadap ideologi tertentu.
Pengalaman nenek Hamzah di Brebes jadi salah satu indikasi bagaimana kekerasan fisik terjadi di masa lalu, dan kisahnya terus diceritakan dengan kesan orang PKI dan simpatisannya layak mendapatkan hal itu karena mereka jahat.
“Nenek saya pernah bercerita pada saya, bahwasannya di masa lalu tentara sampai masuk ke kampung-kampung di pelosok Brebes untuk memburu anggota PKI dan simpatisannya. Cerita itu terus dikisahkan pada anak cucunya dengan kesan bahwa orang jahat pada akhirnya akan kalah”, papar Hamzah.
Penulis : M. Akmal Firmansyah
Editor : Atang N
2 Comments
Mantap, kritis literasionis harus di tanamkan sejak dini.
ReplyDeletewawww, mantap. menunggu tulisan selanjutnya []
ReplyDelete