Normalisasi Kekerasan Resep Jitu Menumpas Komunisme sejak dalam Pikiran




Perpustakaan Desa Padalarang, menggelar diskusi buku Kekerasan Budaya Pasca 1965 : Bagaimana Orde Baru Melegitimasi Anti-Komunisme Melalui Sastra dan Film, karya Wijaya Herlambang, di Perpustakaan Desa Padalarang, Jl. Cipadang Manah RT 03/15, pada Jumat (03/06/2021)

Diskusi buku ‘Kekerasan Budaya’ ini dipantik oleh Prayoga dan dimoderatori oleh M Akmal Firmansyah. Prayoga memaparkan bahwa, “melalui buku ini WIjaya Herlambang mengajak kita terjun bebas masuk ke dalam proses bagaimana suatu pemahaman bisa terbentuk sampai mapan, bertahan lama bahkan jauh setelah sponsor utamanya tumbang, yakni pemerintahan Soeharto. Pemahaman yang dimaksud ialah, pemahaman tentang betapa durjananya orang-orang komunis, komunisme dan simpatisannya. Pemahaman ini disebut juga Ideologi Anti-Kom”. 

“Ideologi Anti-Kom, sebelum pemerintahan Orde Baru berdiri sudah hadir di tengah masyarakat Indonesia, meskipun belum menjadi wacana arus utama. Barulah setelah pemerintahan Orde Baru berdiri, ideologi ini jadi ideologi arus utama di Indonesia”,  tambah Prayoga.


Ajakan Wijaya dalam bukunya itu menurut Prayoga tidak salah jika disambut dengan pikiran terbuka. Sebab menurutnya sangat merepotkan jika pikiran tertutup digunakan oleh generasi yang lahir setelah Orde Baru tumbang. Generasi yang lahir setelah Orde Baru tumbang tidak pernah merasakan situasi ketertutupan informasi, ketertutupan politik dan ketertutupan-ketertutupan lainnya. Sehingga suatu hal yang mengherankan jika pikiran tertutup digunakan untuk merespon ajakan Wijaya.

 

Diskusi ini dihadiri oleh orang-orang dari lintas desa, tidak banyak memang, sekitar 10 orang. Ada Iki dari desa Gunung Masigit, Fajar dari desa Ciburuy dan Adul serta Hamzah dari Jayamekar dan yang lainnya. Semuanya lahir di akhir tahun 90-an, yakni pasca runtuhnya Orde Baru. Jelas saja mereka tidak mengalami situasi ketertutupan yang disebut di atas. Alhasil sebahagian besar dari mereka yang mengikuti diskusi buku ini bisa dibilang menyambut ajakan Wijaya dengan pikiran terbuka.

Fakta-fakta kekerasan yang terjadi antara tahun 65-66, dari mulai pembunuhan 7 jendral sampai pembantaian ribuan, puluhan ribu, ratusan ribu orang Indonesia yang dituduh komunis dan simpatisannya, disampaikan oleh pemantik. Rangkaian fakta-fakta ini menurut pemantik adalah elemen penting untuk memahami kerangka konsep normalisasi kekerasan yang dimaksud penulis buku.

 

Menurut pemantik, Wijaya menempatkan kampanye ideologi Anti-Kom menggunakan produk budaya juga adalah kekerasan. Wijaya mengkategorikan kekerasan menggunakan medium kebudayaan masuk kategori kekerasan tak langsung. Bahkan, kekerasan budaya jauh lebih berpengaruh terhadap pelestarian ideologi Anti-Kom. Lewat medium budaya, kekerasan yang terjadi pasca pembunuhan 7 jendral, tepatnya pembantaian terhadap orang-orang yang dituduh komunis serta simpatisannya adalah sesuatu hal yang normal, wajar, dan dibenarkan. Atas dasar itu, pemantik di tengah-tengah diskusi mengungkapkan bahwasaannya karya seni/budaya tidaklah bebas nilai. Di dalamnya termuat kecenderungan/keberpihakan terhadap ideologi tertentu.


 Teori kekerasan tak langsung/kekerasan budaya yang dihadirkan di buku Wijaya, menurut pemantik, dipakai Wijaya untuk menjelaskan fenomena mapannya Ideologi Anti-Kom di Indonesia. Kekerasan jenis ini terutama hadir secara masif setelah kekerasan fisik/langsung terjadi. Upaya membenarkan kekerasan fisik lewat agresi kekerasan budaya ini juga bertujuan menormalisasi kekerasan fisik sehingga pada akhirnya berpengaruh besar pada mapannya Ideologi Anti-Kom.

 

Pengalaman nenek Hamzah di Brebes jadi salah satu indikasi bagaimana kekerasan fisik terjadi di masa lalu, dan kisahnya terus diceritakan dengan kesan orang PKI dan simpatisannya layak mendapatkan hal itu karena mereka jahat.   

 

“Nenek saya pernah bercerita pada saya, bahwasannya di masa lalu tentara sampai masuk ke kampung-kampung di pelosok Brebes untuk memburu anggota PKI dan simpatisannya. Cerita itu terus dikisahkan pada anak cucunya dengan kesan bahwa orang jahat pada akhirnya akan kalah, papar Hamzah.

 

 

Penulis : M. Akmal Firmansyah 

Editor   : Atang N

Baca Juga

Post a Comment

2 Comments